Selasa, 03 Januari 2017

SYARAT DAN KETENTUAN PERIWAYATAN HADIS


I.                   Pendahuluan
Dalam ilmu penafsiran, Hadis merupakan sesuatu yang penting. Sebab begitu vitalnya peran hadis dalam membantu penafsiran, selain menjadi rujukan kedua setelah al Qur’an dalam menentukan suatu hukum, hadis juga merupakan perkataan, pekerjaan, dan ketetapan yang datang langsung dari Rasulullah.
Oleh karena itu, tidak sembarang orang yang dapat menerima dan memberi hadis. Terdapat syarat dan ketentuan tersendiri yang sangat ketat bagi seorang yang akan menerima hadis, begitu pula untuk orang yang akan memberikan hadis.
Selain syarat dan ketentuan bagi orang yang memberi dan menerima, terdapat pula metode-metode yang digunakan dalam proses penyerahan dan pemberian hadis. Aspek ini juga tidak kalah penting dalam hal serah terima hadis. Karena dengan melihat metode yang digunakan dalam proses penyerahan dan penerimaan ini dapat menentukan tingkatan sebuah hadis.
Melihat dari begitu pentingnya mengetahui syarat dan ketentuan juga metode penyerahan dan penerimaan hadis dalam ilmu hadis, dan yang akhirnya berimbas pula pada ranah ilmu tafsir al Qur’an. Maka disusunlah tulisan ini untuk membantu memberikan tambahan pengetahuan kepada semua pemerhati ilmu umumnya dan untuk penulis sendiri khususnya.
Semoga akan bermanfaat.
II.                Al Taḥammul dan al Adā’
A.    Pengertian al Taḥammul dan al Adā’
Kata al taḥammul merupakan maṣdar yang berasal fi’il madhi  “taḥammala -yataḥammalu - taḥammulan, yang memiliki makna menanggung, membawa, dan menerima.[1] Sedangkan secara istilah dalam ilmu hadist, al taḥammul memiliki arti, “ kegiatan mengambil, menerima atau memindah hadist dari seorang guru.”[2]
Kemudian kata al adā’ secara bahasa memiliki arti penyampaian, pemenuhan.[3] Seperti contoh kalimat adā’ al ṣalāt yang berarti memenuhi kewajiban melakukan ṣalāt. Kemudian jika kata al adā’ dimaknai secara istilah hadist akan bermakna sebagai kegiatan seorang menyampaikan hadist kepada orang lain (muridnya).[4]
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah al taḥammul wa al adā’ al ḥadīth adalah kegiatan dimana seorang murid menerima hadis yang  disampaikan oleh seorang guru.
B.     Syarat Taḥammul al Ḥadīth
Ada beberapa polemik yang sebenarnya masih terjadi di antara para ahli hadist mengenai kriteria kelayakan seseorang melakukan tahammul. Seperti pernah menjadi perdebatan mengenai apakah dianggap sah tahammulnya seorang anak kecil.
Mengenai masalah ini, Yahya bin Ma’in berkomentar bahwa tahammulnya seorang anak kecil dianggap sah jika anak itu sudah berumur sedikitnya 5 tahun.[5] Dan kemudian dibenarkan oleh Musa bin Harun al Hafidz yang kemudian ditambahi dengan syarat anak itu sudah bisa membedakan antara sapi dan keledai. Kemudian argumen diatas diperkuat dengan bukti sejarah bahwa sahabat Hasan, Husain, dan Ibnu Abbas juga Ibnu Zubair pernah menerima hadis ketika mereka belum mencapai usia baligh.
Senada dengan diperbolehkannya anak kecil melakukan tahammul hadist, begitu pula dengan orang kafir juga dianggap sah melakukan tahammul. Seperti yang diungkapkan dalam kitab Ma’rifatu Anwā’i ‘Ulūm al Ḥadīth:
...فَتُقْبَلُ روايَةُ مَنْ تَحَمَّلَ قَبْلَ الإسْلامِ....
“Diterima riwayatnya seseorang yang belum masuk Islam”.[6]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan tahammul orang tersebut harus ḍābit, berakal sempurna, tetapi tidak disayaratkan harus beragama Islam, juga tidak disyaratkan harus baligh.
C.     Syarat Adā’ al Ḥadīth
Syarat-syarat  orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu al adā’ menurut ulama ahli hadis adalah:
1.      Islam
Adā’ al ḥadīth berbeda taḥammul al ḥadīth, karena dalam adā’ al ḥadīth hanya orang Islam yang sah melakukannya. Karena pada waktu periwayatan suatu hadis menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadis ia harus sudah masuk Islam.
2.      Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudah berusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani.[7] Batasan baligh ini bisa diketahui dalam kitab-kitab fiqih.
3.      Adalah
‘Adalah merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketakwaan dan muru’ah (harga diri). Sifat  ‘adalah- nya seorang rawi berarti sifat adilnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadits sifat adil ini berarti orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri. Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal (Majhūl).
4.      ābit
ābit ialah ingatan, seseorang yang meriwayatkan hadits harus ingat akan hadits yang dia sampaikan tersebut. Ketika dia mendengar hadits dan memahami apa yang didengarnya, serta hafal  sejak dia menerima hadits hingga dia meriwayatkannya.[8]

D.    Ṣighāt Taḥammul
Menerima hadis bukan suatu hal yang sepele. Karena, selain hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam yang muncul langsung dari perkataan Rasulullah. Juga dengan melihat cara bagaimana seseorang menerima hadis juga dapat menentukan kedudukan sebuah hadis itu sendiri. Sehingga para ulama mengidentifikasi cara pengambilan dan penerimaan hadis dari para rawi menjadi delapan macam.
1.      Al Simā’ min lafẓi al Shaykh
Yakni penerimaan hadis dengan cara mendengarkan perkataan gurunya, baik dengan cara didiktekan maupun cara lainnya baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Meskipun di antara pemberi dan penerima terdapat penghalang, asalkan suaranya masih terdengar tetap dianggap sah.
Menurut jumhur ahli hadis,  al simā’ merupakan cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa al simā’ yang dibarengi dengan al kitābah mempunyai nilai lebih tinggi karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara-cara lainnya. Di samping itu, para sahabat juga menerima  hadis dari Nabi dengan cara ini. Hal ini juga diperkuat dengan bukti bahwa cara belajar yang pertama kali adalah dengan mendengarkan. Maka cara ini menjadi urutan tertinggi dalam periwayatan hadits.[9] Para ulama tidak memperselisihkan para rawi dalam menggunakan kata-kata atau ighāt yang dipakai dalam periwayatan hadis, biasanya menggunakan kata-kata:
حدّثنا, أخبارنا أنبأنا, سمعت فلانا, قال لنا فلان, ذكر لنا فلان.
2.       Al-Qirā’at ‘alā al Shaykh
Yakni penerimaan hadis dengan cara seorang murid membacakan hadis dihadapan guru, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain dan dia hanya mendengarkannya, dan baik sang guru hapal maupun tidak, namun ia memegang atau mengetahui tulisannya atau tergolong thiqah.[10]
Ungkapan paling tepat untuk meriwayatkan hadits yang di terima melalui cara diatas adalah lafadz- lafadz seperti :
a)      قر أت علي فلا ن (Telah saya bacakan di hadapan Fulan)
b)       قرأ عليه و انا أسمع فأقر أ به (Dibaca di hadapan Fulan dan saya mendengarkannya)
c)      حد ثنا قر اءة عليه (Menceritakan pada kami dengan dibacakan kepada Fulan)
d)     أخبر نا (menggambarkan kami), ungkapan ini digunakan oleh para ahli hadits.[11]
3.       Al Ijāzah
Salah satu bentuk menerima hadits yaitu dengan cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru.
Adapun macam-macam ijazah, yaitu:
a)      Ijāzah fī mu’ayyin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk meriwayatkan suatu hadits tertentu untuk orang tertentu.
b)      Ijāzah fī ghairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seseorang guru kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kan.
c)      Ijāzah ghayri mu’ayyin bi ghayri mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seseorang guru kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya), dan tidak ditentukan pula apa yang di-ijāzah-kan.[12]
Selain tiga di atas ada pula yang mengatakan bahwa pembagian ijazah ada lima, ditambah dengan ijāzah al ma’dūm dan ijāzah al mujāz.
Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah: أجاز لفلان,  حدثنا إجازة,  أخبرنا إجازة,  أنبأنا إجازة
4.       Al Munāwalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau kitabnya kepada muridnya untuk diriwayatkan. Munāwalah mempunyai dua bentuk, yaitu munawalah yang disertai ijāzah dan munāwalah yang tidak disertai dengan ijazah. Tetapi sebagian Ulama’ berpendapat bahwa bentuk kedua dianggap tidak sah karena tidak disertai perizinan untuk meriwayatkan.[13]
Ungkapan penyampaian hadis yang didapat dari metode munāwalah, ialah :
ناولني, ناولني وأجا زلي, حدثنا منا ولة ,أخبرنا منا ولة واجازة
5.       Al Mukātabah
Mukātabah ialah metode penyampain seorang syaikh dengan menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir.
Tidak jauh berbeda dengan munāwalah, karena mukātabah juga terbagi menjadi dua. Pertama adalah mukātabah yang disertai dengan ijāzah atau izin meriwayatkan, dan kedua mukātabah tanpa disertai ijāzah.
Salah satu contoh ungkapan periwayatan dengan metode mukātabah adalah أجزتك ما كتبت لك أو اليك.
6.       Al I’lām
Metode i’lām adalah metode penyampain dengan didapat melalui pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwa dia memiliki sebuah kitab atau hadis yang didapat dari seseorang, dengan tanpa menyampaikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan. Metode ini terdapat perbedaan di sebagian ulama mengenai sah tidaknya menggunakan metode ini.
Sejumlah muḥaddisīn dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan karena tidak disertai dengan izin. Sedangkan sebagian ulama hadis dan fiqih lainnya memperbolehkan dengan alasan tidak mungkin seorang guru memberitahukan sebuah hadis kepada muridnya kecuali guru tersebut telah mempercayai muridnya itu, sehingga sudah pasti diizinkan untuk meriwayatkannya. Salah satu ulama’ yang memperbolehkan adalah Ibnu Juraij.
Salah satu contoh ungkapan periwayatan menggunakan metode ini adalah: أعلمني شيخي, علمني شيخي بكذا.
7.       Al Waṣiyah
Wasiat adalah penegasan guru ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut, yaitu berwasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh meriwayatkan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seolah-olah guru memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Akan tetapi, meskipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari al munāwalah dan al i’lām, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang menerima hadits dengan cara ini ingin meriwayatkan kembali maka dia harus menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafad حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau al qirā’ah.
Ungkapan yang digunakan di metode al waṣiyah adalah أوصى إلي فلان بكتاب , حدثني فلان وصية.
8.       Al Wijādah
Metode periwayatan yangterakhir adalah al wijādah, Yakni seorang memperoleh hadis orang lain deangan mempelajari kitab-kitab hadis tanpa melalui cara al- simā , al- ijāzah atau al- munāwalah. Para ulama berpendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari madzab malikiyah tidak memperboleh  meriwayatkan hadis dengan cara ini. Imam Syafi’i dan segolong pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu al Shalah mengatakan, bahwa sebagaian ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkan bila diyakini kebenarannya.[14]
III.             Kesimpulan
Dalam hadis dikenal sebuah istilah al taḥammul wa al adā’ al ḥadīth yang memiliki pengertian sebagai kegiatan dimana seorang murid menerima hadis yang  disampaikan oleh seorang guru.
Dalam melaksanakan al taḥammul wa al adā’ al ḥadīth terdapat syarat dan ketentuan dari masing-masing keduanya. Pertama, dari aspek penerima, orang tersebut harus ḍābit, berakal sempurna, tetapi tidak disayaratkan harus beragama Islam, juga tidak disyaratkan harus baligh. Kemudian, dari pemberi diharuskan beragama Islam, bersifat ‘adalah, ḍābit, dan baligh.
Selanjutnya, dari proses serah terima hadis tersebut terdapat metode tersendiri yang oleh penelitian para ahli hadis dibagi menjadi delapan metode, yaitu:
1.      Al Simā’ min lafẓi al Shaykh
2.      Al-Qirā’at ‘alā al Shaykh
3.      Al Ijāzah
4.      Al Munāwalah
5.      Al Mukātabah
6.      Al I’lām
7.      Al Waṣiyah
8.      Al Wijādah.
Yang dari kedelapan metode tersebut dapat menentukan tingkatan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang.











Daftar Pustaka
Abdullah (bin) ,Abdul Karim. Sharḥ Ikhtṣār ‘Ulūm al Ḥadīth.
Abu Muhammad, Mahdud bin Ahmad. ‘Umdah al Qārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al Bukhārī, Beirut: Dār Iḥyā’ al Turāth, t.th.
Abu Syubhah, Muhammad bin Muhammad. al Wasīṭ fi ‘Ulūm wa Muṣṭalaḥ al Ḥadīth, Arab: Dār al Fikr al ‘Arabiy, tth.
Ahmad bin Ali bin Tsabit, al Kifāyah fi ‘Ilmi al Riwāyah, Madinah: al Makatbah al ‘Ilmiyyah, t,th.
Ibnu Shalah, ‘Utsman bin Abdurrahman. Ma’rifatu Anwā’i ‘Ulūm al Ḥadīth, Suriah: Dār al Fikr, 1406 H. 128.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Munawwir, Indonesia: Pustaka Progressif, 1997.
Qadhi (al), Iyadh bin Musa. al Ilmā’ ilā Ma’rifat Uṣūl al Riwāyat, Kairo: Dār al Turāth, 1379 H.
Qasimi (al), Muhammad Jamaluddin. Qawā’id al Taḥdīth min Funūn Muṣṭalaḥ al Ḥadīth, Beirut: Dār al Kutub al ‘Ilmiyyah, t.th.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003.
Syarif (al), Hatim bin ‘Arif. al Takhrīr wa Dirasat al Asānid, ttp: Multaqā Ahl al Ḥadīth, t.th.



[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, ( Indonesia: Pustaka Progressif, 1997.) 247.
[2] Abu Shahbah Muhammad bin Muhammad, al Wasīṭ fi ‘Ulūm wa Muṣṭalaḥ al Ḥadīth, (Arab: Dār al Fikr al ‘Arabiy, tth.) 94.
[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, 14.
[4] Abu Shahbah Muhammad bin Muhammad, al Wasīṭ fi ‘Ulūm wa Muṣṭalaḥ al Ḥadīth, 94.
[5] Abu Muhammad Mahdud bin Ahmad, ‘Umdah al Qārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al Bukhārī, (Beirut: Dār Iḥyā’ al Turāth, t.th.) 2:68.
[6] ‘Utsman bin Abdurrahman, Ma’rifatu Anwā’i ‘Ulūm al Ḥadīth, (Suriah: Dār al Fikr, 1406 H.) 128.
[7] Ahmad bin Ali bin Thabit, al Kifāyah fi ‘Ilmi al Riwāyah, (Madinah: al Makatbah al ‘Ilmiyyah, t,th.) 76.
[8] Hatim bin ‘Arif al Syarif, al Takhrīr wa Dirasat al Asānid, (ttp: Multaqā Ahl al Ḥadīth, t.th.) 79.
[9] Munzier Suparta. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), 198.
[10] Abu Syubhah Muhammad bin Muhammad, al Wasīṭ fi ‘Ulūm wa Muṣṭalaḥ al Ḥadīth, 96.
[11] Al Qadhi Iyadh bin Musa, al Ilmā’ ilā Ma’rifat Uṣūl al Riwāyat, (Kairo: Dār al Turāth, 1379.) 70-76.
[12] Muhammad Jamaluddin al Qasimi, Qawā’id al Taḥdīth min Funūn Muṣṭalaḥ al Ḥadīth, (Beirut: Dār al Kutub al ‘Ilmiyyah, t.th.) 295.
[13] Abdul Karim bin Abdullah, Sharḥ Ikhtṣār ‘Ulūm al Ḥadīth, 10:23.
[14] ‘Utsman bin Abdurrahman, Ma’rifatu Anwā’i ‘Ulūm al Ḥadīth, (Beirut: Dār al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1423 H.) 291.