Rabu, 08 Juni 2016

Analisis Hadis Tentang Matahari



A.    Pendahuluan
Hadis adalah salah satu sumber dalam penetapan hukum islam setelah al-Qur’an. Sehingga menjadi sangat penting bagi  umat islam untuk mengetahui dan meneliti hadis, tidak hanya dari luar kulitnya, tetapi juga menelusuk lebih dalam. Karena di dalam hadis tidak berbatas hannya pada isi, tetapi susunan sanad atau perawi juga menentukan status hadis tersebut. Sehingga dengan menelitinya, hadis dapat diketahui status dan kedudukannya.
Lebih dari sisi internal dari sebuah hadis, dapat juga diambil sisi eksternal, seperti sebuah fiqhul hadisnya dari hadis, yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, makna-makna tersirat dari perkataan Rasulullah yang telah diketahui oleh umum bahwa Rasulullah adalah sebaik-baiknya contoh bagi manusia.
Melihat begitu pentingnya meneliti hadis guna menentukan statusnya sehingga dapat memperjelas apakah hadis tersebut dapat digunakan sebagai ḥujjah atau tidak. Maka, penulis menyuguhkan tulisan ini agar menjadi penguat bahwa sebuah hadis adalah sesuatu yang penting untuk diteliti. Di samping itu semoga dengan hadirnya tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.
B.     Hadis
1.      Hadis Gerak Matahari
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَقَالَ: «يَا أَبَا ذَرٍّ أَتَدْرِي أَيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ؟» قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ العَرْشِ»[1]
2.      Arti Kosa Kata
a.       أَتَدْرِي : Apakah kamu tahu?
b.      تَغْرُبُ : Pergi (tenggelam)
c.       قُلْتُ : Saya berkata
d.      أَعْلَمُ : Lebih mengetahui
e.       تَحْتَ العَرْشِ : Di bawah ‘Arsy
3.      Terjemah Hadis
“ Abu Nu’aim becerita, bahwa A’masy bercerita kepadanya, dari Ibrahim at-Taimiy, dari Ayahnya, dari Abu Dzar ra. Abi Dzar berkata: “Saya bersama Rasulallah di masjid ketika matahari tenggelam. Kemudian Rasulullah bertanya: Wahai Abu Dzar, tahukah kamu kemana perginya matahari?.” Kemudian aku menjawab: Allah dan Rasul- Nya lebih mengetahui. Maka Rasulullah bersabda: “ Sesungguhnya matahari pergi bersujud di bawah ‘Arsy.””.

C.    Biografi Perawi
1.      Abu Nu’aim
Namanya adalah Abu Nu’aim ´Amr bin Humad al-Zuhri[2],  dan memiliki julukan al-Fadl bin Dukain al-Kufi al-Mala’i[3]. Lahir pada tahun 130 H dan wafat pada tahun 218 H di Kuffah, ada pula yang mengatakan pada tahun 219 H. Menurut Ibnu Hajar, Abu Nu’aim adalah ulama’  yang thiqqah yang merupakan salah satu dari tabi’ tabi’in terkenal, dan menjadi guru dari banyak ulama’ hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim.
Adapun murid-murid dari Abu Nu’aim adalah:
1)      Muhammad bin Isma’il al-Bukhari
2)      Ahmad bin Hasan al-Tirmidzi
3)      Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
4)      Hasan bin Ishaq al-Marwazi
5)      Abdullah bin Mubarrak
6)      Dan masih banyak lagi.
Sedangkan beberapa guru Abu Nu’aim yaitu:
1)      Sulaiman bin Mihran al-A´masy
2)      Ibrahim bin Nafi’ al-Makki
3)      Aflah bin Humaid
4)      Isma’il bin Muslim al-Abdiy
5)      Salamah bin Wardan
6)      Dan banyak yang lainnya.
2.      A’masy (Sulaiman bin Mihran)
Nama aslinya adalah Sulaiman bin Mihran  al-Asadiy[4]  yang lahir di desa Ibunya Thabaristan pada tahun 61 H, yaitu ketika terbunuhnya Sayyidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib[5]. Kemudian pindah ke Kuffah ketika sudah beranjak dewasa, wafat pada tahun 148 H. Sulaiman bin Mihran adalah ulama’ hadis dari kalangan tabi’in yang sudah diakui ke-thiqqah-annya oleh banyak ulama’ seperti Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa Sulaiman bin Mihran  adalah orang yang wara´.
Sebagai ulama’ hadis, Sulaiman bin Mihran sudah pasti banyak  meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Beberapa murid Sulaiman bin Mihran  adalah:
1)      Abu Nu’aim al-Fadl bin Dukain
2)      Isma’il bin Zakariya
3)      Ishaq bin Yusuf al-Azraq
4)      Zubair bin Mu’awiyyah
5)      Sufyan bin ‘Uyainah.
Begitu pula beberapa guru yang diambil riwayatnya oleh Sulaiman bin Mihran , beberapa dari mereka adalah:
1)         Ibrahim al-Taymiy
2)         Isma’il bin Abi Khalid
3)         Anas bin Malik
4)         Sa’id bin Jabir
5)         Sa’id bin Abdullah bin Jurayj

3.       Ibrahim al-Taymiy[6]
Nama aslinya adalah Ibrahim bin Yazid Bin Syarik al-Taimiy, lahir pada tahun 152 H yang termasuk dari kalangan tabi’in. wafat pada tahun 192 H. Ibrahim al-Taymiy adalah ulama’ hadis yang  dapat dikategorikan thiqqah, seperti yang diungkapkan oleh al-Dzahabi bahwa Ibrahim al-Taymiy itu ra’sun fi al-‘Ilmi.
Ibrahim al-Taymiy banyak meriwayatkan hadis dari gurunya, dan salah satu dari gurunya adalah ayahnya sendiri yaitu Yazid Bin Syarik[7]. Seperti pada hadis  di atas juga diperoleh Ibrahim al-Taymiy dari ayahnya sendiri. Selain ayahnya Ibrahim al-Taymiy juga meriwayatkan dari Anas bin Malik,  Sayyidah A’isyah.
4.      Abu Dzar al-Ghifari
Abu Dzar al-Ghifari merupakan salah satu sahabat Rasulullah, nama aslinya adalah Jundub bin Junadah. Ada yang mengatakan bahwa nama aslinya adalah Jundub bin Sukani. Dia juga masuk dalam jajaran sahabat al-Sābiqūna al-Awwalūn[8], karena dia telah masuk islam sebelum hijrah ke Madinah.[9] Lebih tepatnya dia adalah orang kelima yang masuk islam dari kalangan orang dewasa. Dia juga salah satu sahabat yang menyaksikan pembukaan Baitul Maqdis bersama Sayyidina ‘Umar bin Khattab ,Dia wafat pada tahun 32 H.
Abu Dzar al-Ghifari banyak meriwayatkan hadis gurunya yang tidak lain adalah Rasulullah, tetapi dia juga berguru kepada Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Melihat status Abu Dzar al-Ghifari yang merupakan salah satu al-Sābiqūna al-Awwalūn, jadi, tidak dapat dibantah jika banyak hadis yang diterimanya dari Rasulullah, sehingga banyak juga hadis yang diriwayatkan olehnya kepada murid-murid, bahkan dari sesame sahabat sendiri.

D.    Analisis Hadis
Hadis ini berisi tentang penjelasan mengenai pergerakan matahari. Dalam Ṣaḥīḥ Bukharī banyak hadis yang isinya serupa dengan hadis ini, yaitu terdapat pada hadis no. 3199,7424 dan no. 7433, yang terdapat tambahan tentang sujudnya matahari.
Mengenai sanad hadis, dalam hadis tersebut menggunakan Ṣighat Taḥammul dua lafadz  حدّثنا dan dua lafadz  عن, sehingga dapat dikatakan bahwa hadis ini berstatus shahih jika semua perawi dinyatakan pernah bertemu. Jika dilihat dari nama-nama perawi ternyata dapat dipastikan sudah saling bertemu. Seperti Abu Nu’aim yang masa hidupnya masih mengetahui dan menjadi murid dari Sulaiman bin Mihran al-A’masy. Begitu juga dengan Sulaiman bin Mihran al-A’masy dengan Ibrahim al-Taimiy. Mengenai status hadis, Imam Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini berstatus hasan shahih[10].
Sedangkan untuk matannya terjadi banyak pendapat yang masih simpang siur mengenai bagaimana bentuk penggambaran sujudnya sebuah matahari. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha yang masih terdapat keruwetan.[11]. Tetapi beberapa ulama juga membenarkan mengenai sujudnya matahari di bawah Arsy berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ.....الأية[12]
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Alloh bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar daripada manusia…”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seluruh makhluk Allah meskipun bukan manusia, juga melakukan sujud kepada Allah. Begitu pula dengan Syaikh Abdur Rahman al-Mu`allimi yang membenarkan pernyataan tersbut berkata, “Bagaimanapun sifat sujudnya matahari, yang penting hal itu menunjukkan kepada kita akan kepasrahan dan ketundukannya yang sempurna terhadap perintah Tuhannya selama-lamanya. Barangkali saja tenggelamnya matahari ke arah bawah seperti dalam pandangan mata kita itu yang dimaksud dengan sujudnya matahari.”.[13]
E.     Fiqhu al-Ḥadīth
Hadits ini menyimpan beberapa faedah yang cukup banyak, di antaranya:
1)      Bagusnya cara pengajaran Nabi, yaitu dengan melontarkan sebuah pertanyaan kepada para sahabatnya. Cara seperti ini seringkali beliau praktekkan dalam banyak hadis. Tidak diragukan lagi bahwa sistem pengajaran seperti ini sangat bermanfaat sekali dalam pematangan ilmu dan ketetapannya dalam akal pikiran, sebab seorang yang ditanya akan merasa penasaran untuk mengetahui jawabannya, sehingga ketika jawaban datang kepadanya sedang dia dalam kondisi penasaran dan haus mencari jawaban, tak ragu lagi bahwa hal itu akan lebih terekam dalam hatinya.
Faedah ini hendaklah diperhatikan oleh kita semua, khususnya para ustadz dan para da`i dalam mentransfer ilmu kepada orang lain. Janganlah dia menyampaikan secara hamparan begitu saja, karena hal ini akan lebih mudah hilang dari ingatan, tetapi hendaknya seorang guru untuk berusaha menggunakan cara-cara agar ilmu yang dia sampaikan bisa menetap dalam hati, baik dengan soal-jawab, murāja`ah, diskusi, dan lain sebagainya.
2)      Terbitnya matahari dari barat adalah salah satu tanda besar dekatnya hari kiamat. Hadits ini merupakan di antara salah satu hadits yang banyak sekali, bahkan berderajat mutawatir, bahwa terbitnya matahari dari barat adalah salah satu tanda dekatnya kiamat. Maka hal ini wajib diimani oleh setiap muslim yang mengaku Allah sebagai Tuhannya, Nabi Muhammad adalah nabinya, dan Islam adalah agamanya.
3)      Sunnah (Hadis) merupakan penjelas Al-Qur’an.
Hadits ini bisa dijadikan contoh yang bagus tentang kedudukan Sunnah/hadis sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ[14]
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya, demikianlah ketetapan yang maha kuasa lagi maha mengetahui.”
4)      Matahari merupakan tanda kekuasaan Alloh
Seperti firman Allah :
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ[15]
Dan sebagian tanda-tanda kekuasan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan, dan mereka semua bersujud kepada Allah yang menciptakan mereka. Supaya kalian beribadah kepada- Nya”
Perhatikanlah bagaimana dia berjalan secara teratur tanpa maju ataupun mundur sedikit pun sejak awal penciptaannya hingga kelak jika Allah hendak menghancurkan dunia. Demikian pula bentuknya yang begitu besar dan manfaatnya yang begitu banyak bagi kehidupan makhluk di bumi, baik bagi tubuh, pohon, sungai, lautan, dan lain sebagainya. Belum lagi sinarnya yang menyinari dunia sehingga manusia tidak membutuhkan listrik.
F.     Kesimpulan
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar tersebut diatas merupakan hadis shahih yang menerangkan tentang pergerakan matahari. Meskipun banyak dari beberpa ulama’ yang masih berselisih pendapat mengenai sujudnya matahari. Tetapi oleh Syaikh Abdur Rahman al-Mu`allimi, pendapat mengenai sujudnya matahari adalah benar adanya menilik dari al-Qur’an Surat al-Hajj ayat 18, dengan bentuk sujud yang berbeda-beda. Dan Syaikh Abdur Rahman al-Mu`allimi merefleksikan tenggelamnya matahari ke arah bawah seperti dalam pandangan mata kita,  itulah yang dimaksud dengan sujudnya matahari.
Kembali menilik dari hadis tersebut dapat diambil beberapa pelajaran, yaitu salah satu metode Rasulullah dalam menyampaikan ilmunya dengan cara melontarkan pertanyaan. Karena dengan cara melontarkan pertanyaan dapat menimbulkan rasa penasaran bagi yang ditanyai sehingga jawaban dari pertanyaan dapat diingat dengan mudah. Pelajaran lain yang dapat diambil adalah mengenai pernyataan bahwa hadis adalah salah satu alat penjelas al-Qur’an adalah benar adanya. Karena hadis diatas dapat digunakan untuk menafsirkan surat Yasin ayat 38.



Daftar Pustaka
Al-Qur’an
‘Ali Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsīr al-Manār Mesir: al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitāb 1990.
Bukhari (al), Muhammad bin Isma’il, Jāmi´ al-Ṣaḥīḥ, ttp: Dār al-Ṭūq al-Najjah, 1422 H.
Dzahabi (al), Muhammad bin Ahmad, Sayru al-A´lām al-Nubalā’i, ttp: Mu’assasah al-Risālah, 1985.
Hasan, Abu al-Qāsim Ali, Tārīkh Damashqi, Beirut: Dār al-Fikr 1995.
Katsir, Isma’il bin Umar, Tafsīr al-Qur’ān al-´Adhīm ttp: Dār al-Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tawzī´ 1999.
Khalil, Mahmud Muhammad, Mawsū´ah Aqwāl al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal fi Rijāl al-Ḥadīth ttp: ´Ālim al-Kutub, 1997.
Mu’allimi (al), Abdurrahman bin Yahya, al-Anwār al-Kāshifah .Beirut: ‘Ālim al-Kutub, 1986.
Taymiy (al), Muhammad bin Ḥabban, Mashāhīru al-´Ulamā’ Mesir: Dār al-Wafā’, 1991.
Yusuf, Yusuf bin Aburrahman, Tahdhīb al-Kamāl, Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1980.


[1] Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Jāmi´ al-Ṣaḥīḥ, (ttp: Dār al-Ṭūq al-Najjah, 1422 H.) Juz 6 hal 123 No. Hadits: 4802
[2] Yusuf bin Aburrahman bin Yusuf, Tahdhīb al-Kamāl, ( Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1980) juz 34 hal 352.
[3] Mahmud Muhammad Khalil, Mawsū´ah Aqwāl al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal fi Rijāl al-Ḥadīth (ttp: ´Ālim al-Kutub, 1997) juz 3 hal 151.
[4] Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Sayru al-A´lām al-Nubalā’i, (ttp: Mu’assasah al-Risālah, 1985) juz 6 hal 226.
[5] Muhammad bin Ḥabban al-Taymiy, Mashāhīru al-´Ulamā’ ( Mesir: Dār al-Wafā’, 1991) juz 1 hal 179.
[6] Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Sayru al-A´lām al-Nubalā’i, (ttp: Mu’assasah al-Risālah, 1985) juz 5 hal 60.
[7] Yusuf bin Aburrahman bin Yusuf, Tahdhīb al-Kamāl, ( Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1980) juz 32 hal 160-161.
[8] Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Sayru al-A´lām al-Nubalā’i, (ttp: Mu’assasah al-Risālah, 1985) juz 2 hal 46.
[9] Abu al-Qāsim Ali bin Hasan, Tārīkh Damashqi, (Beirut: Dār al-Fikr 1995) juz 66 hal 174.
[10] Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-´Adhīm (ttp: Dār al-Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tawzī´ 1999) juz 6 hal 574.
[11] Muhammad Rasyid bin ‘Ali Ridha, Tafsīr al-Manār (Mesir: al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitāb 1990) juz 8 hal 211.
[12] Q.S. al-Hajj 22:18
[13] Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi, al-Anwār al-Kāshifah (Beirut: ‘Ālim al-Kutub, 1986) hal 294
[14] Q.S. Yasin 36:38
[15] Q.S. Fushshilat 41:37