PENAFSIRAN AL- QUR’AN DENGAN QAUL SAHABAT
I. Pendahuluan
Al- Qur’an merupakan warisan
dari Rasulullah yang bernilai sastra tinggi, yang bahkan kafir Quraisy yang
terkenal akan bahasa dan sastranya pun merasa heran dan takjub mendengar dan membaca
isi al- Qur’an.
Oleh karena itu, tidak sembarang
orang dapat mengerti apa maksud yang terkandung dalam setiap surat, ayat,
bahkan huruf dalam al- Qur’an. Sehingga dibutuhkan sebuah alat bantu untuk menafsirkan
dan mengetahui makna yang tersembuyi dalam ayat al- Qur’an.
Beberapa hal yang dapat membantu dalam proses
penafsiran al- Qur’an adalah al- Qur’an itu sendiri, hadits Rasulullah dan qaul
sahabat. Jika dilihat peran dari ketiga sumber tersebut, al- Qur’an dan hadits memang
berperan sangat dominan. Karena al- Qur’an adalah kalāmullah sedangkan hadits
adalah kalam Rasulullah yang tidak mungkin berbohong.
Kemudian, mengenai qaul sahabat ini yang masih perlu
penjelasan lebih lanjut agar dapat diketahui bagaimana hukum penafsiran dengan qaul
sahabat. Maka disusunlah tulisan ini yang semoga dapat memberikan penjelasan tentang
penafsiran dengan qaul sahabat.
II. Penafsiran Dengan Qaul Sahabat
A. Pengertian Sahabat
Sebelum membahas lebih jauh bagiamana
tafsir dengan qaul sahabat, ada baiknya diketahui pengertian dari sahabat itu sendiri.
Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah dan beriman kepada Rasulullah,
serta wafat dalam keadaan sebagai muslim.[1]
Sehingga dapat disimpulkan sahabat adalah
orang yang mengetahui dan beriman kepada Rasulullah dari dia hidup hingga wafat.
Jadi, bukanlah dikatakan sahabat meskipun dia mengetahui Rasulullah tetapi dia tidak
beriman.
B. Penafsiran Dengan Qaul Sahabat
Bagaimanakah hukum menafsirkan al-
Qur’an dengan menggunakan qaul sahabat,
yang telah diketahui bahwa sahabat adalah seorang ahl al-lisān. Mereka menyaksikan
dan mengetahui bagaimana penurunan al- Qur’an, seperti mereka mengetahui keadaan
Rasulullah ketika al- Qur’an turun kepada beliau. Juga memiliki tujuan yang benar dan pemahaman yang baik serta ilmu yang memadai.[2]
Sehingga untuk menafsirkan al- Qur’an, sahabat tidaklah sembarangan dalam mengambil sumber. Berikut beberapa sumber yang diambi loleh sahaba tdalam menafsirkan al-
Qur’an:
1)
Al- Qur’an
Sumber pertama
yang digunakan oleh sahabat adalah al- Qur’an. Karena al- Qur’an memang merupakan sumber pertama dan utama dalam menentukan hukum. Selain itu setiap ayat
Al- Qur’an juga menafsirkan ayat
yang lain.
Penafsiran al- Qur’an oleh sahabat dengan menggunakan
al- Qur’an sangat banyak contohnya.
Salah satu contoh sahabat menafsirkan menggunakan al-
Qur’an adalah:
حدثنا ابن المثنى، قال: ثنا محمد بن جعفر، قال: ثنا شعبة، عن سماك بن حرب،
قال: سمعت خالد بن عُرْعرة، قال: سمعت عليًّا يقول: والسقف المرفوع: هو السماء،
قال: (وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا
مُعْرِضُونَ)[3]
“Ibnu Matsna bercerita kepadaku, dia berkata: Muhammad
bin Ja’far bercerita kepadaku, dia berkata: dari Samak bin harb, dia berkata:
saya mendengar dari Khalid bin ‘Ur’Urah, dia berkata: Aku mendengar Ali bin Abi
Thalib berkata: al- saqf dalam ayat wa al- saqf al- marfū` memiliki arti al- samā’ yaitu langit.Kemudian
Ali membaca surat al- Anbiya ayat 32.”
Dalam hadits tersebut terdapat penafsiran dari Ali bin
Abi Thalib yang mengartikan lafadz al-saqfu pada surat al- Thur ayat 5 menjadi
al- samā’ dengan merujuk kepada ayat 32 surat al- Anbiya’ dalam al-
Qur’an yang menjelaskan tentang langit juga meggunakan kata yang sama.
2) Sunnah Nabawi (Hadits)
Sumber kedua yang digunakan oleh sahabat dalam menafsirkan
al- Qur’an yaitu sunnah nabawi atau lebih dikenal dengan istilah hadits. Karena
hadits merupakan sumber kedua setelah al- Qur’an, dan memang berperan sebagai penjelas
al- Qur’an.
Bagian ini terbagi menjadi tiga macam:
a. Sahabat menafsirkan ayat dengan hadits qauliyyah dengan
menisbatkan langsung kepada Rasulullah.[4]
Contoh salah satu penafsirannya
adalah:
فَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، كَانَ يُحَدِّثُ، قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ
عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ البَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ
فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ»، ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:
{فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا[5]} الآيَةَ[6]
“Abu Hurairah
radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wasallam
bersabda: “Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada
dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya
menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan
dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat?
' kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas
fitrah Allah.”.”
Dalam hadits ini terdapat
penafsiran sahabat Abu Hurairah setelah mendengar hadits dari Rasulullah tentang
setiap kelahiran manusia itu suci. Kemudian bacaan
surat ar- Ruum merupakan tambahan dari Abu Hurairah yang menghubungkan hadits dengan
ayat yang juga mengatakan demikian.[7]
Jadi, kalimat terakhir tersebut bukan dari nabi, melainkan tambahan dari Abu
Hurairah sendiri.
b. Sahabat menafsirkan dengan hadits yang marfū’
kepada Rasulullah tanpa menyebutkan ke-marfū’an-nya.
Salah satu contoh penafsiran ini adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَاحِدِ، حَدَّثَنَا
الشَّيْبَانِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ زِرًّا، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، {فَكَانَ قَابَ
قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى}، قَالَ:
حَدَّثَنَا ابْنُ مَسْعُودٍ، «أَنَّهُ رَأَى جِبْرِيلَ لَهُ سِتُّ مِائَةِ
جَنَاحٍ»[8]
“Telah menceritakan kepada
kami Abu An Nu'man Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid Telah menceritakan
kepada kami As Syibani dia berkata; Aku mendengar Zirr dari Abdullah mengenai
firman Allah: “maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur
panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad)
apa yang telah Allah wahyukan,.”[9]
Zirr berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mas'ud bahwa Nabi ṣallallāhu
'alayhi wasallam melihat Jibril mempunyai enam ratus sayap.
Dalam Hadits diatas terdapat penafsiran Ibnu
Mas’ud mengenai Jibril yang menurunkan wahyu kepada Rasulullah.
c.
Sahabat menafsirkan
dengan menggunakan perilaku Rasul
Dalam bagian ini terbagi menjadi dua:
Pertama, penjelasan sahabat dengan menyandarkan
pekerjaan yang menafsirkan ayat kepada Rasul. Contohnya
sebagai berikut:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الطَّنَافِسِيُّ، عَنِ العَوَّامِ، قَالَ: سَأَلْتُ
مُجَاهِدًا، عَنْ سَجْدَةٍ فِي ص، فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ: مِنْ أَيْنَ
سَجَدْتَ؟ فَقَالَ: أَوَمَا تَقْرَأُ: {وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ}.
{أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ} «فَكَانَ دَاوُدُ
مِمَّنْ أُمِرَ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْتَدِيَ
بِهِ، فَسَجَدَهَا دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، فَسَجَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»[10]
Hadits diatas berisi
tentang penafsiran ibnu abbas mengenai cara sujud tilawah dengan mengingat
perilaku nabi ketika membaca ayat sajdah. Kedua, sahabat menafsirkan dengan
tidak menyeebut perilaku Rasul tetapi dihukumi marfū’.
3)
Bahasa Arab
Sumber ketiga yang
digunakan oleh sahabat adalah menggunakan ilmu bahasa arab. Penafsiran sahabat
menggunakan ilmu bahasa arab sangat banyak contohnya, karena banyak kitab
tafsir yang menulis atau memuat penafsiran ini .
Salah satunya ada dalam kitab Bukhari, entah itu dikutip dari sahabat Ibnu
Abbas ataupun dari Ali bin Abi Thalhah. Begitu juga dari pertanyaan-pertanyaan
yang di ajukan oleh Nafi’ bin al- Azraq[11]
seputar gharīb al- Qur`ān.
Salah satu contohnya
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا
سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَابِسٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ
عَبَّاسٍ، {إِنَّهَا تَرْمِي بِشَرَرٍ كَالقَصَرِ} قَالَ: «كُنَّا نَرْفَعُ
الخَشَبَ بِقَصَرٍ ثَلاَثَةَ أَذْرُعِ أَوْ أَقَلَّ، فَنَرْفَعُهُ لِلشِّتَاءِ
فَنُسَمِّيهِ القَصَرَ»
“Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir Telah mengabarkan kepada kami Sufyan Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman
bin Abis ia berkata; Aku mendengar Ibnu Abbas
menjelaskan ayat: "innahā tarmī bishararin ka
al- qaṣr." Ia berkata, "Biasanya kami
mengangkat papan setinggi tiga hasta atau lebih rendah dari itu dengan
tongkat guna memasuki musim dingin, lalu kami pun menamakannya
al- qaṣr."
Penafsiran yang
dilakukan Ibnu Abbas dalam hadits tersebut ada pada lafadz al- qaṣr,
yang diambil dari istilah dari bahasa arab sendiri. Sumber lain yang diambil
sahabat adalah:
1.
Ahl al- Kitab
2.
Pemahaman dan ijtihad
3.
Sahabat lainnya.
III.
Kesimpulan
Penafsiran dengan qaul
sahabat merupakan salah satu alternatif jika pencarian di dalam al- Qur’an dan
Hadits tidak ditemukan hal yang dituju. Karena qaul sahabat bukan hanya sekedar
nonsens, karena kita ketahui sahabat adalah orang terdekat Rasulullah
dan merupakan seorang ahl
al-lisān, Mereka juga telah menyaksikan dan mengetahui bagaimana penurunan
al- Qur’an, serta pemahaman yang baik dan ilmu yang memadai dalam hal tafsir.
Dalam
menafsirkan al- Qur’an, sahabat mengambil beberapa sumber yaitu:
1.
Al- Qur’an
2.
Hadits
3.
Bahasa Arab
4.
Ahl al- Kitab
5.
Pemahaman dan ijtihad
6.
Sahabat lainnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Asqālanī (al), `Umar bin Ruslan. Muqaddimah
Ibnu Șalāḥ wa Maḥāsin Al- Iṣṭliā., ttp.: Dār al- Ma`ārif, tth.
Ṭiyar (al), Musa’id bin Sulaiman. Fuṣūl
fī Uṣūl al- Tafsīr, ttp,: Dār ibnu Jawzi, 1423 H.
Ṭabariy (al), Ibnu Jarir. Jāmi` al-Bayān fi Ta’wīl al- Qur’ān, ttp.:
Dār Hijr, 2001.
Bukhari (al), Abu Abdillah Muhammad
bin ismail. al- Jāmi´al-Musnad al- Ṣaḥīḥ, ttp.: Dār al- Ṭūq al- Najjah,
1422 H.
Sabti (al),
Khalid bin bin ‘Utsman. Qawā`id al- Tafsīr, Dār Ibn `Affān, 1421 H.
Qusayri (al), Muslim bin al- Hajjaj.
Șaḥīḥ Muslim Beirut: Dār al- Iḥyā’ al- Turath, tth.
[1]`Umar bin Ruslan al- Asqalani, Muqaddimah Ibnu
Șalāḥ wa Maḥāsin Al- Iṣṭliāḥ, (ttp: Dār al- Ma`ārif, tth) hal 486.
[2] Musa’id bin Sulaiman al- Ṭiyar, Fuṣūl fī Uṣūl
al- Tafsīr, (ttp: Dār ibnu Jawzi, 1423 H.) hal. 30
[3]Ibnu Jarir al- Ṭabariy, Jāmi` al-Bayān fi
Ta’wīl al- Qur’ān, (ttp: Dār Hijr, 2001) juz 21, hal 567.
[4]Meskipun hadits tersebut tidak secara langsung
menafsirkan sebuah ayat, sahabat tetap menghubungkan antara ayat tersebut
dengan hadits.
[5]Q.S. Ar- Ruum 30: 30
[6]Abu Abdillah Muhammad bin ismal al- Bukhari, al-
Jāmi´al-Musnad al- Ṣaḥīḥ, (ttp: Dār al- Ṭūq al- Najjah, 1422 H) juz 6 hal
114.
[8] Muslim bin al- Hajjaj al- Qusayri, Șaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al- Iḥyā’ al-
Turath, tth) juz 1 hal 157.
[10] Abu Abdillah Muhammad bin ismal al- Bukhari, al- Jāmi´al-Musnad al-
Ṣaḥīḥ, (ttp: Dār al- Ṭūq al- Najjah, 1422 H) juz 6 hal 124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar