Senin, 07 November 2016

ABOUT TAFSIR BI AL MA’THŪR


A.  Pendahuluan
              Al-Qur`ān merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Allah Subḥānahu  wa Ta`ālā kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam  melalui perantaraan malaikat Jibril Alayhi al-Salām, dan Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam   menyampaikannya kepada umatnya. Para sahabat yang hidup bersama Nabi tidak kesulitan dalam memahami al-Qur`ān. Disamping karena al-Qur`ān  menggunakan bahasa mereka, juga karena mereka sering mendapatkan pengajaran dan penjelasan dari Nabi.[1] Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al- Qur`ān, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur`ān. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur`ān, Rasulullah Ṣalla Allah `Alaihi wa Sallam selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya. Metode penafsiran al-Qur`ān  pada masa Nabi adalah penjelasan secara langsung oleh beliau sendiri, sebab orang yang paling memahami al- Qur`ān adalah Rasulullah, ketika para sahabat menanyakan tentang suatu makna dari suatu ayat tertentu, maka Rasullulah yang langsung memberikan penjelasan kepada para sahabat. Keadaan ini terus berlangsung sampai Nabi wafat. Sebagaimana firman Allah:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ -٤٤
Artinya: ” ...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`ān, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.
           Bentuk penafsiran tersebut disebut juga dengan tafsir bi al-Ma’tsur. Dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai pengertian tafsir bi al-Ma`tsur, karakteristiknya, ciri-cirinya dan juga contoh-contoh kitab tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bi ma’tsur. Dengan mengetahui pembahasan ini kita dapat menggolongkan suatu kitab tafsir menggunakan tafsir bi al-Ma’tsur karena mengetahui karakteristik dan ciri-cirinya. Dan juga membahas beberapa kitab tafsir yang termasuk kitab tafsir bi al-Ma’tsur.
B.     Pengertian Tafsir Bi al-Ma’tsur
           Pengertian tafsir bi al-Matsur secara bahasa adalah berasal dari kata atsara artinya bekas. Dan tafsir bi al-Mat’sur disebut juga tafsir bir riwayah karena berdasarkan riwayat-riwayat yaitu Al-Qur`ān dan Hadits dan selainnya.  Tafsir bi al-Ma’tsur disebut juga tafsir bi naqli, karena riwayatnya berdasarkan pemindahan dari satu orang ke orang lain.
           Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bi al-Ma’tsur diantaranya, menurut Manna’ Al-Qaththan,  tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur`ān dengan Al-Qur`ān, Al-Qur`ān dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan Kitab Allah, dan juga dengan perkataan sahabat karena merekalah yang lebih mengetahui Kitab Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[2]
           Menurut Muhammad Al-Zarqani,  tafsir bi al-Matsur adalah penafsiran ayat Al-Qur`ān dengan ayat Al-Qur`ān, Al-Qur`ān dengan Sunnah Nabi, dan para sahabat.[3] Sedangkan menurut Muhammad Husein al-Dzahabi, tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran yang bersumber dari ayat Al-Qur`ān dengan ayat Al-Qur`ān, dengan Hadits Nabi, perkataan sahabat dan juga tabi’in, tabi’ tabi’in  termasuk dalam kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak secara langsung menerima tafsir dari Rasullullah Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam.[4]
          Berdasarkan definisi tersebut tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsirannya terfokus pada riwayat-riwayat yaitu dengan menggunakan penafsiran Al-Qur`ān dengan Al-Qur`ān, penafsiran Al-Qur`ān dengan sunnah, penafsiran Al-Qur`ān dengan perkataan para sahabat dan lain sebagainya. Dalam tradisi studi Al-Qur`ān klasik, riwayat merupakan sumber penting dalam memahami teks Al-Qur`ān. Sebab Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam, adalah  sebagai mufassir pertama terhadap Al-Qur`ān. Dalam konteks ini muncul istilah metode tafsir riwayat. Karena pada masa Rasullulah Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam, sahabat menerima riwayat-riwayat atau penjelasan Al-Qur`ān dari Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam, lalu sahabat tersebut menyampaikan riwayat itu kepada sahabat lainnya begitu juga seterusnya.
C. Karakteristik dan Ciri-Ciri Tafsir bi al-Ma’tsur beserta Contohnya
1.Tafsir Al-Qur`ān dengan Al-Qur`ān
             Tafsir Al-Qur`ān dengan Al-Qur`ān adalah satu ayat, kata atau huruf dalam Al-Qur`ān ditafsirkan dengan ayat yang lainnya. Contoh seperti dalam Surah Al-Maidah ayat 1 telah ditafsirkan oleh Surah Al-Maidah ayat 3:[5]
أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ   
Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu”,  ayat ini ditafsirkan oleh ayat 3 dalam surah yang sama.
...حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ  
Diharamkan bagimu(memakan) bangkai, darah, daging babi...” 
 Contoh lainnya dalam Firman Allah Q.S. Al-Thariq: 1 yaitu sebagai berikut:
والسماء والطارق
“Demi langit dan yang datang pada malam hari” (Q.S. Al-Thariq: 1)
Kata Al-Thariq dijelaskan dengan firman-Nya lebih lanjut pada surat itu pula:
النجم الثاقب
“(yaitu) binatang yang cahayanya menembus” (Q.S. Al-Thariq: 3) Contoh lainnya adalah Firman Allah: 

فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah: 37)
Kalimat yang diterima Adam ditafsirkan dengan ayat:[6]

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“keduanya berkata (Adam dan Hawa), “wahai Tuhan kami, kemi telah menganiaya diri kami, andai kata Kamu tidak memaafkan dan mengasihi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S Al-A’raf: 23)

2.Tafsir Al-Qur`ān dengan Hadits Nabi SAW
         Tafsir Al-Qur`ān dengan Hadits Nabi Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam adalah satu ayat, kata atau huruf dalam Al-Qur`ān ditafsirkan dengan hadits Nabi Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca Firman Allah:[7]
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
Artinya:“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki...”
kemudian Rasulullah bersabda :      
ألا إن القوة الرمي
Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
           Contoh lainnya yaitu penafsiran pada Nabi Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam. Diriwayatkan oleh Syaikhani dan selain dari keduanya. Dari Ibnu Mas’ud r.a berkata: ketika turunnya ayat ini:[8]
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ -٨٢
Artinya:”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”.
        Yang demikian itu sulit bagi manusia dan  sahabat berkata:” wahai Rasulullah siapakah dari kita yang tidak mendzalimi dirinya sendiri?” Berkata Rasul:” tidak masalah, hal tersebut tidak seperti yang kamu sangka, apakah kamu tidak mendengar apa yang dikatakan oleh hamba yang baik (Luqmanul Hakim).(Q.S.Luqman:13)
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ -١٣                                                   
Artinya:”sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
          Rasulullah Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam menafsiran kata بِظُلْمٍ dalam ayat tersebut dengan الشِّرْكَ . penafsiran ini selaras dengan penegasan Allah dalam Q.S. Luqman:13.

3.Tafsir Al-Qur`ān dengan Perkataan Sahabat  
          Tafsir Al-Qur`ān dengan perkataan sahabat adalah suatu ayat, kata atau huruf dalam Al-Qur`ān ditafsirkan dengan perkataan sahabat. Karena para sahabatlah yang dekat dan bersama atau berkumpul dengan Nabi Ṣalla Allah `Alaihi  wa  Sallam. Dan mereka mengambil dari sumbernya yang asli dan telah menyaksilan turunnya  Al-Qur`ān, serta mengetahui asbabaun nuzul. Contohnya dalam penggunaan “aqwalush shahabah” dalam menafsirkan Al-Qur`ān atau berkata Ibnu Abbas atau sahabat yang lainnya. Untuk melihat contohnya dapat diamati tafsir Ibn Jarir Al-Thabari atau kitab tafsir yang lainnya yang menggunakan tafsirnya dengan perkataan sahabat. Contoh penafsiran ini tidak banyak ditemukan. Tafsir pada masa sahabat yang terkenal adalah Ibnu Abbas.
4.Tafsir bi al-Matsur juga dengan Menggunakan Riwayat Israiliyat
             Riwayat Israiliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab yaitu Nasrani dan Yahudi yang menjelaskan ayat Al-Qur`ān. Ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagaamaan mereka berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagaamaan  Saat mereka membaca  kisah-kisah dalam Al-Qur`ān  terkadang mereka paparkan rincian kisah tersebut yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Ketika mereka membaca ayat Al-Qur`ān dan ketika ayat Al-Qur`ān itu menyinggung kisah yang sama, mereka pun memberikan komentar berdasarkan apa yang pernah mereka baca dari kitab-kitab mereka sebelumnya.[9]
            Dalam kitab tafsir Al-Thabari banyak mengutip dari orang-orang Ahli Kitab yang menerima ajaran islam yaitu yang telah memeluk agama islam seperti Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar. Para sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas pernah bertanya kepada orang-orang Ahli kitab tersebut tentang beberapa peristiwa masa lalu, akan tetapi tidak berhubungan dengan aqidah.
D.Contoh Kitab Tafsir yang Menggunakan Tafsir bi al-Matsur
1.Kitab Tafsir Al-Thabari
         Kitab tafsir Jami’ul bayan fi takwil Al-Qur`ān atau lebih dikenal dengan Tafsir Al-Thabari adalah dikarang oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari (224H – 310 H). Kitab tafsir ini berjumlah 12 jilid dan merupakan tafsir yang tertua. Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran yang menggunakan tafsir bi al-Ma’tsur.  Dan juga kitab tafsir Al-Thabari menggunkan metode tahlili yaitu menafsirkan ayat Al-Qur`ān secara tartib mashafi dan juga mengupasnya secara detail disertai dengan analisa yang tajam. 
         Beliau menafsirkan ayat Al-Qur`ān dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jika dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, disebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya.[10] Dan juga dalam penafsiran beliau juga menggunakan riwayat Israiliyat. Oleh karena itu Beliau menggunakan tafsir bi al-Ma’tsur dalam kitab tafsirnya.
2. Tafsir Ibnu Katsir                                                                  
             Kitab Tafsir Ibnu Katsir atau Tafsir Al-Qur`ān Al-Adhim yang dikarang oleh Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (705H - 774H) atau yang lebih dikenl dengan Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir terdiri dari 4 jilid. Tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir terpopuler setelah Tafsir Al-Thobardengan menggunakan penafsiran bi al-Ma’tsur.
          Beliau sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur`ān dengan menukil perkataan para sahabat. Beliau juga menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya.[11] Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in.[12]
3. Tafsir Imam Suyuthi
            Tafsir Ad-Dur Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur atau yang lebih dikenal Tafsir Imam Suyuthi. Kitab Tafsir tersebut terdiri dari 6 Jilid. Kitab Tafsir Al-Dur Al-Manstur Fi Tafsir bi al-Ma’tsur karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi merupakan salah satu karya tafsir bi matsur. Hal tersebut terlihat dalam penafsiran yaitu dalam Q.S.Al-Baqarah:30. Ketika dalam menafsirkan ayat tersebut Imam Suyuthi  mengutip hadits Rasullulah dan perkataan sahabat, diantaranya Ibnu Abbas dan Mujahid. Di samping itu dalam menafsirkannya juga mengaitkan dengan ayat yang lain dam juga beliau menafsirkan berdasarkan tartin mashafi dari Surat Al-Fatihah sampai Surat An-Nas. Dengan langkah-langkah tersebut dapat digolongkan tafsir tersebut kitab tafsir bi al-Ma’tsur.[13]
F.Penutup
            Tafsir bi al-Ma’tsur adalaah penafsiran yang berdasarkan ayat Al-Qur`ān dengan ayat Ayat Al-Qur`ān lainnya, ayat Al-Qur`ān dengan Hadits Nabi SAW, ayat Al-Qur`ān dengan perkataan sahabat. Tafsir bi al-Ma’tsur berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, oleh karena itu tafsir bi al-Ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi riwayat. Tafsir bi al-Ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi naqli.
            Karakteristik tafsir bi al-Ma’tsur yaitu menafsirkan Al-Qur`ān dengan Al-Qur`ān, Al-Qur`ān dengan Hadit Nabi Saw. Al-Qur`ān dengan perkataan Sahabat. Dan dalam kitab tafsir bi al-Ma’tsur juga terdapat juga riwayat-riwayat israiliyat yaitu riwayat yang berasal dari Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Israiliyat digunakan dalam penafsiran dikarenakan ada kesamaan antara Al-Qur`ān dengan Taurat dan Injil dalam beberapa masalah, khususnya yaitu mengenai kisah-kisah umat terdahulu, dimana dalam Al-Qur`ān dikisahkan secara singkat dan ringkas, namun di dalam kitab-kitab sebelumnya dijelaskan secara panjang lebar.
              Dalam kitab-kitab tafsir klasik seperti Kitab tafsir Al-Thabari dan Kitab tafsir Ibnu katsir babyak mengambil riwayat-riwayat israiliyat dalam penafsirannya.Penafsiran yang berbentuk riwayat atau yang disebut juga dengan tafsir bi al-Ma’tsur merupakan bentuk penafsirn yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat dijumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama kitab tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ad-Dur Manstur fi Tafsir bi al-Ma’tsur dan lain sebagainya.
          













DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an al-Karim
Zaini Muhammad. Ulumul Quran Suatu Pengantar. Banda Aceh, 2005 M.
Zarqani (al), Muhammd. Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an. DKI, 2010 M.
Dzahabi (al), Muhammad Husein. Tafsir wal Mufassirun. Mesir Dar Al-Kutub wa Al-Hadits,1996.
Qathan (al) Manna’. Mabahits fi ulum Al-Qur’an. Mansyurat Al-Ash Al-Hadits,1973.
Shiddiqi (al), Hasbi. Sejarah Ilmu Al-Qur’an Tafsir. Semarang, Pustaka Riski Putra, 2002.
Thabari (al), Ibnu  Jarir.  Kitab Jami’ul Bayan fi Takwil Al-Qur’an. Muasisiah al-Risalah : 2000 M.
Baidan Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Katsir Ibnu. Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim.  Darul Thayibah : 1999 M.
Suyuthi (al), Jalaluddin. Kitab Ad-Dur Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur.  T.th




[1]Muhammad Zaini, Ulumul Quran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:,2005), hal. 109
[2]Manna’ Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.terjemah Muzakkir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), hal.482-483
[3]Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an, (DKI: 2010 M) hal.12
[4]Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun (Mesir:Dar Al-Kutub wa Al-Hadits,1996), hal. 45
[5]Muhammad Al-Zarqani, Manahil Irfan fi Ulum Al-Quran, (DKI: 2010 M) hal.13
[6]Ibid hal.14
[7]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ulum Al-Qur’an (Mansyurat Al-Ash Al-Hadits,1973), hal.9
[8]Ibid, hal.9

[9]Hasbi Al-Shiddiqi, Sejarah Ilmu Al-Qur’an Tafsir ( Semarang: Pustaka Riski Putra,2002), hal.189

[10]Ibnu  Jarir Al-Thabari, Kitab Jami’ul Bayan fi Takwil Al-Qur’an, (Muasisiah al-Risalah : 2000 M) hal.10
[11]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu tafsir  (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005), hal.396-397
[12]Ibnu Katsir, Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim (Darul Thayibah : 1999 M) hal.15
[13]Imam Suyuthi, Kitab Ad-Dur Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur  (T.th) hal.10

GHARĪB DAN MUSYKIL


I.       Pendahuan
Al-Qur`ān diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihi wa Sallam dan kaumnya, merupakan kewajiban umatnya untuk membacanya, mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Qur`ān diturunkan sebagai petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-Qur`ān dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitāb Allah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau lafal yang sulit dipahami, bahkan oleh orang Arab sekalipun. Lafal-lafal seperti inilah yang dinamakan dengan Gharīb dan Musykil. Berikut ini akan dibahas tentang gharīb dan musykil.

II.    Pembahasan
A.    Gharīb al-Qur`ān
1.      Pengertian Gharib
Kata gharīb dapat kita temukan dalam hadits Rasulullah Ṣalla Allah `Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah.[1]
اَعْرِبُوا القُرْآنَ والْتَمِسُوا غَرَائِبَهُ
“I’rabilah al-Qur`ān dan cermatilah kata-kata asingnya (gharaib) olehmu.”
Lafadz gharīb berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari lafadz gharāib yang berarti asing, tersembunyi, samar atau sulit pengertiannya. Sedangkan menurut istilah ulama` qurra`gharīb artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam al-Qur`ān. Jika dihubungkan dengan al-Qur`ān, maka yang dimaksud dengan Gharāib al-Qur`ān adalah ayat-ayat al-Qur`ān yang sukar pemahamannya, sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti maknanya.[2]
Banyak lafadz dalam ayat-ayat al-Qur`ān yang aneh bacaannya. Maksud dari aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan al-Qur`ān yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan al-Qur`ān yang mengandung kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya.
Imam al-Suyuthi berkata, “Bagi orang yang mendalami ilmu ini hendaknya kembali pada kitab-kitab para ahli sastra bahasa Arab. Adapun para sahabat meskipun tidak mendalami bidang ini namun mereka adalah orang Arab asli yang fashih dalam berbahasa Arab dan kepada merekalah al-Qur`ān diturunkan. Mereka mencukupkan dengan bahasa mereka ketika ada kata yang mereka anggap asing dan tidak berkomentar sedikitpun tentang itu.”[3]
2.      Beberapa Ayat yang Gharib
a.       Lafal أبّا pada Surat ‘Abasa ayat 31
Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar ditanyai makna kata ini, lalu beliau menjawab: “Langit mana tempat aku berlindung, bumi mana tempat aku berpijak, kalua aku mengucapkan menyangkut kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui.” Ucapan serupa juga dikemukakan oleh Umar bin Khattab ketika beliau membaca ayat-ayat di atas. Beliau berkata: “Semua ini telah kita ketahui, tetapi apakah abban itu?” Lalu, beliau mengangkat tongkat yang dipegangnya dan berkata: “Inilah yang merupakan pemaksaan. Tidak ada celaan bagimu, jika tidak mengetahui apakah abban itu.” Lalu beliau menghadap kepada siapa yang di sekelilingnya seraya berkata: “Ikutilah apa yang dijelaskan kepada kamu dari yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah, dan apa yang tidak kamu ketahui, serahkanlah kepada Allah.”[4]
Bahwa Sayyidina Abu Bakar, Umar, dan sekian banyak sahabat lain tidak mengetahuinya, bisa jadi kata tersebut ada dalam perbendaharaan bahasa Arab dan pernah digunakan oleh generasi dahulu, tetapi tidak popular lagi.[5] Gharibnya ayat ini terletak pada lafalnya yang jarang atau tidak pernah didengar oleh orang-orang Arab, khususnya para sahabat yang mencoba memahami makna ayat.
فَهُوَ إِسْنَادٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ رَوَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنِ أَنَسٍ بِهِ، وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَعْرِفَ شَكْلَهُ وَجِنْسَهُ وَعَيْنَهُ وَإِلَّا فَهُوَ وَكُلُّ مَنْ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مِنْ نَبَاتِ الْأَرْضِ لِقَوْلِهِ: فَأَنْبَتْنا فِيها حَبًّا وَعِنَباً وَقَضْباً وَزَيْتُوناً وَنَخْلًا وَحَدائِقَ غُلْباً وَفاكِهَةً وَأَبًّا[6].
Ibnu Katsir mengomentari bahwa hadits mengenai Sayyidina Umar di atas adalah shahih. Bahwasanya Umar ingin mengetahui makna abba, baik dari segi bentuknya, jenisnya, ataupun rupanya. Menurut Ibnu Katsir, abba adalah sejenis tumbuhan yang ada di bumi, hal ini dipahami berdasarkan ayat sebelumnya, yaitu ayat 27-30.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَالْأَبُّ، مَا أَنْبَتَتِ الْأَرْضُ مِمَّا تَأْكُلُهُ الدَّوَابُّ وَلَا يَأْكُلُهُ النَّاسُ، وَفِي رِوَايَةِ عَنْهُ: هُوَ الْحَشِيشُ لِلْبَهَائِمِ.[7]
Dalam suatu riwayat Ibnu Abbas berkata, “Adapun al-abb adalah dedaunan yang dimakan oleh binatang ternak, bukan oleh manusia.” Di riwayat lain disebutkan, “Yakni rerumputan untuk binatang ternak.”
b.      Lafal فاطر dalam Surat Fathir ayat 1 dan Surat Al-An’am ayat 14
Ibnu Abbas berkata, “Dahulu saya tidak mengerti makna فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ, hingga dua orang badui menemui saya, dan keduanya berselisih perihal sebuah sumur”. Salah seorang berkata kepada temannya, “ana fathartuha yakni, ana abtada`tuha hafraha (Aku yang memulai menggali dan membuatnya)” Ibnu Abbas juga berkata: “fāthir al-samāwāti wa al-ardh (pencipta pertama langit dan bumi)”, atau dalam riwayat lain disebutkan “khaliqu al-samāwāti wa al-ardh (pencipta langit dan bumi dari suatu ketiadaan)”.[8]
Di dalam tafsir al-Maraghi, lafal فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ itu مبدعهما على غير مثال سابق yang artinya “mengadakan langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya”.[9]
c.       Lafal  حنناdi dalam Surat Maryam ayat 13
حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ، سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ قَوْلِهِ: وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا فَقَالَ: سَأَلْتُ عنها ابن عباس فلم يجد فيها شيئا.[10]
Ibnu Humaid telah bercerita kepada kami, Jarir telah bercerita kepada kami dari Manshur, Aku telah bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang: وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا, Sa’id menjawab: “Aku telah bertanya tentang itu juga kepada Ibnu Abbas, tidak menemukan sesuatu di dalamnya.”
وَأَخْرَجَ مِنْ طَرِيقِ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَا وَاللَّهِ مَا أَدْرِي مَا حَنَانًا![11]
Dikeluarkan dari jalur ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata: “Tidak, Demi Allah, aku tidak tahu apa itu hanānan”.
وَأَخْرَجَ الْفِرْيَابِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كُلُّ الْقُرْآنِ أَعْلَمُهُ إِلَّا أَرْبَعًا: {غِسْلِينٍ} و {وَحَنَاناً} و {أَوَّاهٌ} و {وَالرَّقِيمِ} .[12]
Diriwayatkan oleh al-Firyabi dari Isra`il dari Simak bin Harbi dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Aku mengetahui semua yang ada di dalam al-Qur`ān kecuali empat hal, yaitu: ghislīn, hanānan, awwāhun, dan al-Raqīm”.
قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا يَقُولُ: وَرَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا.[13]
Dalam Tafsir al-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا yakni rahmat dari sisi Kami.”
B.     Musykil
1.      Pengertian Musykil
Musykil diambil dari kata فهو مشكل,يشكل , أشكل yang berarti kesulitan. Adapun secara istilah adalah ayat-ayat yang sulit dipahami tujuan dan maksud ayat tersebut.
هو اللفظ الذي خفي معناه المراد بسبب في نفس اللفظ ، بحيث لايدرك الابالتأمل وبقرينة  تبين المرادمنه ،وهو يقابل النص[14]
المشكل هو الذي خفي معنه بسبب في ذات اللفظ[15]
المشكل هو ما خفيت دلالته علي معناه لذاته[16]
Suatu lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh lafadz itu sendiri. Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karena itu diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafadz tersebut.
Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.
2.      Contoh Musykil
Dikisahkan suatu ketika ada seorang laki-laki yang mendatangi Ibnu Abbas, ia merasa kesulitan memahami surat al-An’am ayat 23 yang berbunyi:
ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا وَاللَّهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِينَ
Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan: “Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah”.
Menurut seseorang tersebut sulit untuk memahami ayat ini, karena ia belum mengetahui tujuan ayat tersebut, lalu Ibnu Abbas berkata, “ketika seluruh manusia berada di padang mahsyar Allah Subḥānahu  wa Ta`ālā mengampuni dosa-dosa orang Islam dan Allah Subḥānahu  wa Ta`ālā tidak mengampuni orang yang syirik, lalu orang musyrik itu mengharapkan agar Allah mengampuni mereka, lalu mereka berkata, وَاللَّهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِينَ[17]
III. Kesimpulan
Gharīb al-Qur`ān ialah lafal di dalam al-Qur`ān yang dianggap asing atau sulit dipahami oleh bangsa Arab, khususnya para sahabat yang kepada mereka diturunkan al-Qur`ān.
Makna lafal yang dianggap gharīb di atas adalah:
1.      Lafal abbā diartikan dengan makna rerumputan bagi binatang ternak.
2.      Lafal fāthir diartikan dengan makna menciptakan.
3.      Lafal hanānan diartikan dengan makna kasih saying atau rahmat.
Ke-gharīb-an lafal al-Qur`ān bisa saja terjadi pada para sahabat ataupun pada orang Arab lainnya, dikarenakan kosakata bahasa Arab itu sangat luas/banyak, sehingga tidak semua orang mampu memahami semua kosakata tersebut.
Sedangkan Musykil itu suatu lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh lafadz itu sendiri. Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karena itu diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafadz tersebut.
Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.






Daftar Pustaka
Al-Qur’ān al-Karīm.
Baidan, Nashruddin. “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hasaballah, Ali, Ushul al-Tasyrik al- Islami. Cairo: Darul Ma’arif, 1119 M.
Katsir, Ibnu, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1419 H.
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur`ān al-adhīm Jilid 7 terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011.
Maraghi (al), Ahmad bin Musthafa, “Tafsir al-Marāghi”, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah  Musthafa al-Bābi al-Halibī, 1946 M.
Shihab, M. Quraish, “Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`ān Jilid 15”. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suyuthi (al), Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Qur`ānBeirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015. 
Suyuthi (al), Jalaluddin. “Al-Itqan fi Ulum al-Qur`ān Jilid I terj. Tim Editor Indiva”. Surakarta: Indiva Pustaka, 2008.
Zahra, Abu, Ushul al-Fiqh”. Darul Fikri, 1958 M.
Zuhaili (al), Wahbah.  Ushul al-Fiqh al-Islami”. Damaskus: Darul Fikri, 1986 M.







[1] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur`ān(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2015), hal. 587.
[2] Nashruddin Baidan, “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hal. 267.
[3] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur`ān Jilid I terj. Tim Editor Indiva”. (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hal. 448.
[4] M. Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`ān Jilid 15”. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 87.

[5] Ibid.
[6] Ibnu Katsir, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), juz: 8, hal.325
[7] Ibid.
[8] Ibnu Katsir,  Tafsir al-Qur`ān al-adhīm Jilid 7 terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir(Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011), hal. 456.
[9] Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, “Tafsir al-Marāghi”, (Mesir: Maktabah wa Mathba’ah  Musthafa al-Bābi al-Halibī), juz 7, hal. 84.
[10] Ibnu Katsir, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), Juz 5, hal. 191.
[11] Jalaluddin al-Suyuthi, “al-Itqān fī ‘Ulum al-Qur`ān”, (al-Haiah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Juz 2, hal. 4.
[12] Ibid.
[13] Ibnu Katsir, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), juz 5, hal. 192.
[14] Wahbah az zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami”. (Damaskus: Darul Fikri, 1986 M), hal. 338.
[15] Abu Zahra, Ushul al-Fiqh”. (Darul Fikri, 1958 M), hal. 128.
[16] Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyrik al- Islami. (Cairo: Darul Ma’arif,1119 M), hal.263.
[17] Jalaluddin al-Suyuthi, “Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`ān”. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2015), hal. 348.