I. Pendahuan
Al-Qur`ān diturunkan dalam bahasa Arab kepada
Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihi wa Sallam dan kaumnya, merupakan
kewajiban umatnya untuk membacanya, mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Qur`ān
diturunkan sebagai petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan
sehari-hari.
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai
lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya.
Dari aspek manapun al-Qur`ān dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau
basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat
yang terpancar dari kitāb Allah sebagai bukti kebenaran risalah Allah
yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau
lafal yang sulit dipahami, bahkan oleh orang Arab sekalipun. Lafal-lafal
seperti inilah yang dinamakan dengan Gharīb dan Musykil. Berikut ini akan dibahas tentang gharīb dan musykil.
II. Pembahasan
A. Gharīb al-Qur`ān
1. Pengertian Gharib
Kata gharīb dapat kita temukan
dalam hadits Rasulullah Ṣalla Allah `Alaihi wa Sallam yang
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah.[1]
اَعْرِبُوا القُرْآنَ والْتَمِسُوا غَرَائِبَهُ
“I’rabilah al-Qur`ān dan
cermatilah kata-kata asingnya (gharaib) olehmu.”
Lafadz gharīb berasal dari bahasa arab, yakni bentuk
jamak dari lafadz gharāib yang berarti asing, tersembunyi, samar
atau sulit pengertiannya. Sedangkan menurut istilah ulama` qurra`, gharīb artinya
sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau
permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat
dalam al-Qur`ān. Jika dihubungkan dengan al-Qur`ān, maka yang dimaksud
dengan Gharāib al-Qur`ān adalah ayat-ayat al-Qur`ān yang sukar
pemahamannya, sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti maknanya.[2]
Banyak lafadz dalam ayat-ayat al-Qur`ān yang aneh bacaannya. Maksud dari
aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan al-Qur`ān yang tidak sesuai dengan
kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan
bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan al-Qur`ān yang mengandung
kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum
sastrawan tidak mampu menandinginya.
Imam al-Suyuthi
berkata, “Bagi orang yang mendalami ilmu ini hendaknya kembali pada kitab-kitab
para ahli sastra bahasa Arab. Adapun para sahabat meskipun tidak mendalami
bidang ini namun mereka adalah orang Arab asli yang fashih dalam
berbahasa Arab dan kepada merekalah al-Qur`ān diturunkan. Mereka mencukupkan
dengan bahasa mereka ketika ada kata yang mereka anggap asing dan tidak
berkomentar sedikitpun tentang itu.”[3]
2.
Beberapa Ayat
yang Gharib
a.
Lafal أبّا pada Surat ‘Abasa ayat 31
Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar ditanyai makna kata ini, lalu
beliau menjawab: “Langit mana tempat aku berlindung, bumi mana tempat aku
berpijak, kalua aku mengucapkan menyangkut kitab Allah sesuatu yang tidak aku
ketahui.” Ucapan serupa juga dikemukakan oleh Umar bin Khattab ketika beliau membaca
ayat-ayat di atas. Beliau berkata: “Semua ini telah kita ketahui, tetapi apakah
abban itu?” Lalu, beliau mengangkat tongkat yang dipegangnya dan
berkata: “Inilah yang merupakan pemaksaan. Tidak ada celaan bagimu, jika tidak
mengetahui apakah abban itu.” Lalu beliau menghadap kepada siapa yang di
sekelilingnya seraya berkata: “Ikutilah apa yang dijelaskan kepada kamu dari
yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah, dan apa yang tidak kamu
ketahui, serahkanlah kepada Allah.”[4]
Bahwa Sayyidina Abu Bakar, Umar, dan sekian banyak sahabat lain tidak
mengetahuinya, bisa jadi kata tersebut ada dalam perbendaharaan bahasa Arab dan
pernah digunakan oleh generasi dahulu, tetapi tidak popular lagi.[5] Gharibnya
ayat ini terletak pada lafalnya yang jarang atau tidak pernah didengar oleh
orang-orang Arab, khususnya para sahabat yang mencoba memahami makna ayat.
فَهُوَ إِسْنَادٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ رَوَاهُ غَيْرُ
وَاحِدٍ عَنِ أَنَسٍ بِهِ، وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَعْرِفَ
شَكْلَهُ وَجِنْسَهُ وَعَيْنَهُ وَإِلَّا فَهُوَ وَكُلُّ مَنْ قَرَأَ هَذِهِ
الْآيَةَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مِنْ نَبَاتِ الْأَرْضِ لِقَوْلِهِ: فَأَنْبَتْنا فِيها حَبًّا وَعِنَباً وَقَضْباً
وَزَيْتُوناً وَنَخْلًا وَحَدائِقَ غُلْباً وَفاكِهَةً وَأَبًّا[6].
Ibnu Katsir mengomentari bahwa hadits
mengenai Sayyidina Umar di atas adalah shahih. Bahwasanya Umar ingin mengetahui
makna abba, baik dari segi bentuknya, jenisnya, ataupun rupanya. Menurut
Ibnu Katsir, abba adalah sejenis tumbuhan yang ada di bumi, hal ini
dipahami berdasarkan ayat sebelumnya, yaitu ayat 27-30.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:
وَالْأَبُّ، مَا أَنْبَتَتِ الْأَرْضُ مِمَّا تَأْكُلُهُ الدَّوَابُّ وَلَا
يَأْكُلُهُ النَّاسُ، وَفِي رِوَايَةِ عَنْهُ: هُوَ الْحَشِيشُ لِلْبَهَائِمِ.[7]
Dalam suatu riwayat Ibnu Abbas berkata,
“Adapun al-abb adalah dedaunan yang dimakan oleh binatang ternak, bukan
oleh manusia.” Di riwayat lain disebutkan, “Yakni rerumputan untuk binatang
ternak.”
b. Lafal فاطر dalam Surat Fathir ayat 1 dan Surat
Al-An’am ayat 14
Ibnu Abbas berkata, “Dahulu
saya tidak mengerti makna فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ, hingga dua orang badui
menemui saya, dan keduanya berselisih perihal sebuah sumur”. Salah seorang
berkata kepada temannya, “ana fathartuha yakni, ana abtada`tuha
hafraha (Aku yang memulai menggali dan membuatnya)” Ibnu Abbas juga berkata:
“fāthir al-samāwāti wa al-ardh (pencipta pertama langit dan bumi)”, atau
dalam riwayat lain disebutkan “khaliqu al-samāwāti wa al-ardh (pencipta
langit dan bumi dari suatu ketiadaan)”.[8]
Di dalam tafsir al-Maraghi,
lafal فَاطِرُ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ itu مبدعهما على غير مثال سابق yang artinya
“mengadakan langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya”.[9]
c. Lafal حنناdi dalam Surat Maryam ayat
13
حَدَّثَنَا
ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ، سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ
جُبَيْرٍ عَنْ قَوْلِهِ: وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا فَقَالَ: سَأَلْتُ عنها ابن عباس
فلم يجد فيها شيئا.[10]
Ibnu Humaid telah bercerita kepada kami,
Jarir telah bercerita kepada kami dari Manshur, Aku telah bertanya kepada Sa’id
bin Jubair tentang: وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا,
Sa’id menjawab: “Aku telah bertanya tentang itu juga kepada Ibnu Abbas, tidak
menemukan sesuatu di dalamnya.”
وَأَخْرَجَ مِنْ طَرِيقِ عِكْرِمَةَ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَا وَاللَّهِ مَا أَدْرِي مَا حَنَانًا![11]
Dikeluarkan dari jalur ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata: “Tidak, Demi
Allah, aku tidak tahu apa itu hanānan”.
وَأَخْرَجَ
الْفِرْيَابِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كُلُّ الْقُرْآنِ أَعْلَمُهُ إِلَّا
أَرْبَعًا: {غِسْلِينٍ} و {وَحَنَاناً} و {أَوَّاهٌ} و {وَالرَّقِيمِ} .[12]
Diriwayatkan oleh al-Firyabi dari Isra`il
dari Simak bin Harbi dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Aku mengetahui
semua yang ada di dalam al-Qur`ān kecuali empat hal, yaitu: ghislīn,
hanānan, awwāhun, dan al-Raqīm”.
قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا يَقُولُ: وَرَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا.[13]
Dalam Tafsir al-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam
tafsir beliau, Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا
yakni rahmat dari sisi Kami.”
B.
Musykil
1. Pengertian
Musykil
Musykil diambil dari kata فهو مشكل,يشكل , أشكل yang berarti kesulitan. Adapun secara
istilah adalah ayat-ayat yang sulit dipahami tujuan dan maksud ayat tersebut.
هو
اللفظ الذي خفي معناه المراد بسبب في نفس اللفظ ، بحيث لايدرك الابالتأمل
وبقرينة تبين المرادمنه ،وهو يقابل النص[14]
Suatu
lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh lafadz itu sendiri. Ada
definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa
lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud
tertentu, oleh karena itu diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh
lafadz tersebut.
Sumber
kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz
itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga
tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.
2.
Contoh Musykil
Dikisahkan suatu ketika ada seorang
laki-laki yang mendatangi Ibnu Abbas, ia merasa kesulitan memahami surat
al-An’am ayat 23 yang berbunyi:
ثُمَّ
لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا وَاللَّهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا
مُشْرِكِينَ
Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan: “Demi Allah,
Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah”.
Menurut seseorang
tersebut sulit untuk memahami ayat ini, karena ia belum mengetahui tujuan ayat
tersebut, lalu Ibnu Abbas berkata, “ketika seluruh manusia berada di padang
mahsyar Allah Subḥānahu wa Ta`ālā
mengampuni dosa-dosa orang Islam dan Allah Subḥānahu wa Ta`ālā tidak mengampuni orang yang
syirik, lalu orang musyrik itu mengharapkan agar Allah mengampuni mereka, lalu
mereka berkata, وَاللَّهِ
رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِينَ”[17]
III. Kesimpulan
Gharīb al-Qur`ān ialah lafal di dalam al-Qur`ān yang dianggap asing atau sulit dipahami
oleh bangsa Arab, khususnya para sahabat yang kepada mereka diturunkan
al-Qur`ān.
Makna lafal yang dianggap gharīb di atas adalah:
1.
Lafal abbā diartikan dengan makna rerumputan bagi binatang
ternak.
2.
Lafal fāthir diartikan dengan makna menciptakan.
3.
Lafal hanānan diartikan dengan makna kasih saying atau rahmat.
Ke-gharīb-an lafal al-Qur`ān bisa saja
terjadi pada para sahabat ataupun pada orang Arab lainnya, dikarenakan kosakata
bahasa Arab itu sangat luas/banyak, sehingga tidak semua orang mampu memahami
semua kosakata tersebut.
Sedangkan Musykil itu suatu
lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh lafadz itu sendiri. Ada
definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa
lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud
tertentu, oleh karena itu diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh
lafadz tersebut.
Sumber
kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz
itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga
tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.
Daftar Pustaka
Al-Qur’ān al-Karīm.
Baidan, Nashruddin. “Wawasan
Baru Ilmu Tafsir”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hasaballah, Ali, “Ushul al-Tasyrik
al- Islami”.
Cairo: Darul Ma’arif, 1119 M.
Katsir, Ibnu, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,
1419 H.
Katsir, Ibnu, “Tafsir al-Qur`ān al-adhīm
Jilid 7 terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir”, Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir,
2011.
Maraghi (al), Ahmad
bin Musthafa, “Tafsir al-Marāghi”, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah
Musthafa al-Bābi al-Halibī, 1946 M.
Shihab, M.
Quraish, “Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`ān Jilid 15”. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suyuthi (al), Jalaluddin. “Al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur`ān”. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015.
Suyuthi (al), Jalaluddin. “Al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur`ān Jilid I terj. Tim
Editor Indiva”. Surakarta: Indiva Pustaka, 2008.
Zahra,
Abu, “Ushul al-Fiqh”. Darul Fikri, 1958 M.
Zuhaili (al), Wahbah. “Ushul al-Fiqh
al-Islami”.
Damaskus:
Darul Fikri, 1986 M.
[1] Jalaluddin al-Suyuthi, “Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`ān”. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2015), hal. 587.
[3] Jalaluddin al-Suyuthi, “Al-Itqan fi ‘Ulum
al-Qur`ān Jilid
I terj. Tim Editor Indiva”. (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hal. 448.
[4] M. Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur`ān Jilid 15”. (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 87.
[5] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibnu
Katsir, “Tafsir
al-Qur`ān al-adhīm Jilid 7 terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir”, (Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011), hal.
456.
[9] Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, “Tafsir al-Marāghi”, (Mesir:
Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Bābi al-Halibī), juz 7, hal. 84.
[11] Jalaluddin al-Suyuthi, “al-Itqān fī
‘Ulum al-Qur`ān”, (al-Haiah
al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Juz
2, hal. 4.
[12] Ibid.
[17] Jalaluddin al-Suyuthi, “Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`ān”. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2015), hal. 348.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar