Senin, 07 November 2016

GHARĪB DAN MUSYKIL


I.       Pendahuan
Al-Qur`ān diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihi wa Sallam dan kaumnya, merupakan kewajiban umatnya untuk membacanya, mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Qur`ān diturunkan sebagai petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-Qur`ān dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitāb Allah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau lafal yang sulit dipahami, bahkan oleh orang Arab sekalipun. Lafal-lafal seperti inilah yang dinamakan dengan Gharīb dan Musykil. Berikut ini akan dibahas tentang gharīb dan musykil.

II.    Pembahasan
A.    Gharīb al-Qur`ān
1.      Pengertian Gharib
Kata gharīb dapat kita temukan dalam hadits Rasulullah Ṣalla Allah `Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah.[1]
اَعْرِبُوا القُرْآنَ والْتَمِسُوا غَرَائِبَهُ
“I’rabilah al-Qur`ān dan cermatilah kata-kata asingnya (gharaib) olehmu.”
Lafadz gharīb berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari lafadz gharāib yang berarti asing, tersembunyi, samar atau sulit pengertiannya. Sedangkan menurut istilah ulama` qurra`gharīb artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam al-Qur`ān. Jika dihubungkan dengan al-Qur`ān, maka yang dimaksud dengan Gharāib al-Qur`ān adalah ayat-ayat al-Qur`ān yang sukar pemahamannya, sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti maknanya.[2]
Banyak lafadz dalam ayat-ayat al-Qur`ān yang aneh bacaannya. Maksud dari aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan al-Qur`ān yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan al-Qur`ān yang mengandung kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya.
Imam al-Suyuthi berkata, “Bagi orang yang mendalami ilmu ini hendaknya kembali pada kitab-kitab para ahli sastra bahasa Arab. Adapun para sahabat meskipun tidak mendalami bidang ini namun mereka adalah orang Arab asli yang fashih dalam berbahasa Arab dan kepada merekalah al-Qur`ān diturunkan. Mereka mencukupkan dengan bahasa mereka ketika ada kata yang mereka anggap asing dan tidak berkomentar sedikitpun tentang itu.”[3]
2.      Beberapa Ayat yang Gharib
a.       Lafal أبّا pada Surat ‘Abasa ayat 31
Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar ditanyai makna kata ini, lalu beliau menjawab: “Langit mana tempat aku berlindung, bumi mana tempat aku berpijak, kalua aku mengucapkan menyangkut kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui.” Ucapan serupa juga dikemukakan oleh Umar bin Khattab ketika beliau membaca ayat-ayat di atas. Beliau berkata: “Semua ini telah kita ketahui, tetapi apakah abban itu?” Lalu, beliau mengangkat tongkat yang dipegangnya dan berkata: “Inilah yang merupakan pemaksaan. Tidak ada celaan bagimu, jika tidak mengetahui apakah abban itu.” Lalu beliau menghadap kepada siapa yang di sekelilingnya seraya berkata: “Ikutilah apa yang dijelaskan kepada kamu dari yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah, dan apa yang tidak kamu ketahui, serahkanlah kepada Allah.”[4]
Bahwa Sayyidina Abu Bakar, Umar, dan sekian banyak sahabat lain tidak mengetahuinya, bisa jadi kata tersebut ada dalam perbendaharaan bahasa Arab dan pernah digunakan oleh generasi dahulu, tetapi tidak popular lagi.[5] Gharibnya ayat ini terletak pada lafalnya yang jarang atau tidak pernah didengar oleh orang-orang Arab, khususnya para sahabat yang mencoba memahami makna ayat.
فَهُوَ إِسْنَادٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ رَوَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنِ أَنَسٍ بِهِ، وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَعْرِفَ شَكْلَهُ وَجِنْسَهُ وَعَيْنَهُ وَإِلَّا فَهُوَ وَكُلُّ مَنْ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مِنْ نَبَاتِ الْأَرْضِ لِقَوْلِهِ: فَأَنْبَتْنا فِيها حَبًّا وَعِنَباً وَقَضْباً وَزَيْتُوناً وَنَخْلًا وَحَدائِقَ غُلْباً وَفاكِهَةً وَأَبًّا[6].
Ibnu Katsir mengomentari bahwa hadits mengenai Sayyidina Umar di atas adalah shahih. Bahwasanya Umar ingin mengetahui makna abba, baik dari segi bentuknya, jenisnya, ataupun rupanya. Menurut Ibnu Katsir, abba adalah sejenis tumbuhan yang ada di bumi, hal ini dipahami berdasarkan ayat sebelumnya, yaitu ayat 27-30.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَالْأَبُّ، مَا أَنْبَتَتِ الْأَرْضُ مِمَّا تَأْكُلُهُ الدَّوَابُّ وَلَا يَأْكُلُهُ النَّاسُ، وَفِي رِوَايَةِ عَنْهُ: هُوَ الْحَشِيشُ لِلْبَهَائِمِ.[7]
Dalam suatu riwayat Ibnu Abbas berkata, “Adapun al-abb adalah dedaunan yang dimakan oleh binatang ternak, bukan oleh manusia.” Di riwayat lain disebutkan, “Yakni rerumputan untuk binatang ternak.”
b.      Lafal فاطر dalam Surat Fathir ayat 1 dan Surat Al-An’am ayat 14
Ibnu Abbas berkata, “Dahulu saya tidak mengerti makna فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ, hingga dua orang badui menemui saya, dan keduanya berselisih perihal sebuah sumur”. Salah seorang berkata kepada temannya, “ana fathartuha yakni, ana abtada`tuha hafraha (Aku yang memulai menggali dan membuatnya)” Ibnu Abbas juga berkata: “fāthir al-samāwāti wa al-ardh (pencipta pertama langit dan bumi)”, atau dalam riwayat lain disebutkan “khaliqu al-samāwāti wa al-ardh (pencipta langit dan bumi dari suatu ketiadaan)”.[8]
Di dalam tafsir al-Maraghi, lafal فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ itu مبدعهما على غير مثال سابق yang artinya “mengadakan langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya”.[9]
c.       Lafal  حنناdi dalam Surat Maryam ayat 13
حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ، سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ قَوْلِهِ: وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا فَقَالَ: سَأَلْتُ عنها ابن عباس فلم يجد فيها شيئا.[10]
Ibnu Humaid telah bercerita kepada kami, Jarir telah bercerita kepada kami dari Manshur, Aku telah bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang: وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا, Sa’id menjawab: “Aku telah bertanya tentang itu juga kepada Ibnu Abbas, tidak menemukan sesuatu di dalamnya.”
وَأَخْرَجَ مِنْ طَرِيقِ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَا وَاللَّهِ مَا أَدْرِي مَا حَنَانًا![11]
Dikeluarkan dari jalur ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata: “Tidak, Demi Allah, aku tidak tahu apa itu hanānan”.
وَأَخْرَجَ الْفِرْيَابِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كُلُّ الْقُرْآنِ أَعْلَمُهُ إِلَّا أَرْبَعًا: {غِسْلِينٍ} و {وَحَنَاناً} و {أَوَّاهٌ} و {وَالرَّقِيمِ} .[12]
Diriwayatkan oleh al-Firyabi dari Isra`il dari Simak bin Harbi dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Aku mengetahui semua yang ada di dalam al-Qur`ān kecuali empat hal, yaitu: ghislīn, hanānan, awwāhun, dan al-Raqīm”.
قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا يَقُولُ: وَرَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا.[13]
Dalam Tafsir al-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “وَحَناناً مِنْ لَدُنَّا yakni rahmat dari sisi Kami.”
B.     Musykil
1.      Pengertian Musykil
Musykil diambil dari kata فهو مشكل,يشكل , أشكل yang berarti kesulitan. Adapun secara istilah adalah ayat-ayat yang sulit dipahami tujuan dan maksud ayat tersebut.
هو اللفظ الذي خفي معناه المراد بسبب في نفس اللفظ ، بحيث لايدرك الابالتأمل وبقرينة  تبين المرادمنه ،وهو يقابل النص[14]
المشكل هو الذي خفي معنه بسبب في ذات اللفظ[15]
المشكل هو ما خفيت دلالته علي معناه لذاته[16]
Suatu lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh lafadz itu sendiri. Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karena itu diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafadz tersebut.
Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.
2.      Contoh Musykil
Dikisahkan suatu ketika ada seorang laki-laki yang mendatangi Ibnu Abbas, ia merasa kesulitan memahami surat al-An’am ayat 23 yang berbunyi:
ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا وَاللَّهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِينَ
Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan: “Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah”.
Menurut seseorang tersebut sulit untuk memahami ayat ini, karena ia belum mengetahui tujuan ayat tersebut, lalu Ibnu Abbas berkata, “ketika seluruh manusia berada di padang mahsyar Allah Subḥānahu  wa Ta`ālā mengampuni dosa-dosa orang Islam dan Allah Subḥānahu  wa Ta`ālā tidak mengampuni orang yang syirik, lalu orang musyrik itu mengharapkan agar Allah mengampuni mereka, lalu mereka berkata, وَاللَّهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِينَ[17]
III. Kesimpulan
Gharīb al-Qur`ān ialah lafal di dalam al-Qur`ān yang dianggap asing atau sulit dipahami oleh bangsa Arab, khususnya para sahabat yang kepada mereka diturunkan al-Qur`ān.
Makna lafal yang dianggap gharīb di atas adalah:
1.      Lafal abbā diartikan dengan makna rerumputan bagi binatang ternak.
2.      Lafal fāthir diartikan dengan makna menciptakan.
3.      Lafal hanānan diartikan dengan makna kasih saying atau rahmat.
Ke-gharīb-an lafal al-Qur`ān bisa saja terjadi pada para sahabat ataupun pada orang Arab lainnya, dikarenakan kosakata bahasa Arab itu sangat luas/banyak, sehingga tidak semua orang mampu memahami semua kosakata tersebut.
Sedangkan Musykil itu suatu lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh lafadz itu sendiri. Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karena itu diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafadz tersebut.
Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.






Daftar Pustaka
Al-Qur’ān al-Karīm.
Baidan, Nashruddin. “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hasaballah, Ali, Ushul al-Tasyrik al- Islami. Cairo: Darul Ma’arif, 1119 M.
Katsir, Ibnu, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1419 H.
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur`ān al-adhīm Jilid 7 terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011.
Maraghi (al), Ahmad bin Musthafa, “Tafsir al-Marāghi”, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah  Musthafa al-Bābi al-Halibī, 1946 M.
Shihab, M. Quraish, “Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`ān Jilid 15”. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suyuthi (al), Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Qur`ānBeirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015. 
Suyuthi (al), Jalaluddin. “Al-Itqan fi Ulum al-Qur`ān Jilid I terj. Tim Editor Indiva”. Surakarta: Indiva Pustaka, 2008.
Zahra, Abu, Ushul al-Fiqh”. Darul Fikri, 1958 M.
Zuhaili (al), Wahbah.  Ushul al-Fiqh al-Islami”. Damaskus: Darul Fikri, 1986 M.







[1] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur`ān(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2015), hal. 587.
[2] Nashruddin Baidan, “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hal. 267.
[3] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur`ān Jilid I terj. Tim Editor Indiva”. (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hal. 448.
[4] M. Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`ān Jilid 15”. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 87.

[5] Ibid.
[6] Ibnu Katsir, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), juz: 8, hal.325
[7] Ibid.
[8] Ibnu Katsir,  Tafsir al-Qur`ān al-adhīm Jilid 7 terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir(Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011), hal. 456.
[9] Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, “Tafsir al-Marāghi”, (Mesir: Maktabah wa Mathba’ah  Musthafa al-Bābi al-Halibī), juz 7, hal. 84.
[10] Ibnu Katsir, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), Juz 5, hal. 191.
[11] Jalaluddin al-Suyuthi, “al-Itqān fī ‘Ulum al-Qur`ān”, (al-Haiah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Juz 2, hal. 4.
[12] Ibid.
[13] Ibnu Katsir, “Tafsir al-Qur`ān al-‘Adhim”, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), juz 5, hal. 192.
[14] Wahbah az zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami”. (Damaskus: Darul Fikri, 1986 M), hal. 338.
[15] Abu Zahra, Ushul al-Fiqh”. (Darul Fikri, 1958 M), hal. 128.
[16] Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyrik al- Islami. (Cairo: Darul Ma’arif,1119 M), hal.263.
[17] Jalaluddin al-Suyuthi, “Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`ān”. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2015), hal. 348.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar