A.
Pendahuluan
Hadis adalah salah satu sumber dalam
penetapan hukum islam setelah al-Qur’an. Sehingga menjadi sangat penting
bagi umat islam untuk mengetahui dan
meneliti hadis, tidak hanya dari luar kulitnya, tetapi juga menelusuk lebih
dalam. Karena di dalam hadis tidak berbatas hannya pada isi, tetapi susunan
sanad atau perawi juga menentukan status hadis tersebut. Sehingga dengan menelitinya,
hadis dapat diketahui status dan kedudukannya.
Lebih dari sisi internal dari sebuah
hadis, dapat juga diambil sisi eksternal, seperti sebuah fiqhul hadisnya dari
hadis, yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, makna-makna tersirat
dari perkataan Rasulullah yang telah diketahui oleh umum bahwa Rasulullah
adalah sebaik-baiknya contoh bagi manusia.
Melihat begitu pentingnya meneliti
hadis guna menentukan statusnya sehingga dapat memperjelas apakah hadis
tersebut dapat digunakan sebagai ḥujjah atau tidak. Maka, penulis
menyuguhkan tulisan ini agar menjadi penguat bahwa sebuah hadis adalah sesuatu
yang penting untuk diteliti. Di samping itu semoga dengan hadirnya tulisan ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.
B.
Hadis
1.
Hadis
Gerak Matahari
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ،
فَقَالَ: «يَا أَبَا ذَرٍّ أَتَدْرِي أَيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ؟» قُلْتُ: اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ
العَرْشِ»[1]
2.
Arti
Kosa Kata
a.
أَتَدْرِي : Apakah kamu tahu?
b.
تَغْرُبُ : Pergi (tenggelam)
c.
قُلْتُ : Saya berkata
d.
أَعْلَمُ : Lebih mengetahui
e.
تَحْتَ العَرْشِ : Di bawah ‘Arsy
3.
Terjemah
Hadis
“
Abu Nu’aim becerita, bahwa A’masy bercerita kepadanya, dari Ibrahim at-Taimiy,
dari Ayahnya, dari Abu Dzar ra. Abi Dzar berkata: “Saya bersama Rasulallah di
masjid ketika matahari tenggelam. Kemudian Rasulullah bertanya: Wahai Abu Dzar,
tahukah kamu kemana perginya matahari?.” Kemudian aku menjawab: Allah dan
Rasul- Nya lebih mengetahui. Maka Rasulullah bersabda: “ Sesungguhnya matahari
pergi bersujud di bawah ‘Arsy.””.
C.
Biografi Perawi
1.
Abu
Nu’aim
Namanya adalah Abu Nu’aim ´Amr bin
Humad al-Zuhri[2],
dan memiliki julukan al-Fadl bin Dukain
al-Kufi al-Mala’i[3].
Lahir pada tahun 130 H dan wafat pada tahun 218 H di Kuffah, ada pula yang
mengatakan pada tahun 219 H. Menurut Ibnu Hajar, Abu Nu’aim adalah ulama’ yang thiqqah yang merupakan
salah satu dari tabi’ tabi’in terkenal, dan menjadi guru dari banyak ulama’
hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim.
Adapun murid-murid dari Abu Nu’aim
adalah:
1)
Muhammad
bin Isma’il al-Bukhari
2)
Ahmad
bin Hasan al-Tirmidzi
3)
Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal
4)
Hasan
bin Ishaq al-Marwazi
5)
Abdullah
bin Mubarrak
6)
Dan
masih banyak lagi.
Sedangkan
beberapa guru Abu Nu’aim yaitu:
1)
Sulaiman
bin Mihran al-A´masy
2)
Ibrahim
bin Nafi’ al-Makki
3)
Aflah
bin Humaid
4)
Isma’il
bin Muslim al-Abdiy
5)
Salamah
bin Wardan
6)
Dan
banyak yang lainnya.
2.
A’masy
(Sulaiman bin Mihran)
Nama aslinya adalah Sulaiman bin
Mihran al-Asadiy[4] yang lahir di desa Ibunya Thabaristan pada
tahun 61 H, yaitu ketika terbunuhnya Sayyidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib[5].
Kemudian pindah ke Kuffah ketika sudah beranjak dewasa, wafat pada tahun 148 H.
Sulaiman bin Mihran adalah ulama’ hadis dari kalangan tabi’in yang sudah diakui
ke-thiqqah-annya oleh banyak ulama’ seperti Ibnu Hajar yang mengatakan
bahwa Sulaiman bin Mihran adalah orang yang wara´.
Sebagai ulama’ hadis, Sulaiman bin
Mihran sudah pasti banyak
meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Beberapa murid Sulaiman bin
Mihran adalah:
1)
Abu
Nu’aim al-Fadl bin Dukain
2)
Isma’il
bin Zakariya
3)
Ishaq
bin Yusuf al-Azraq
4)
Zubair
bin Mu’awiyyah
5)
Sufyan
bin ‘Uyainah.
Begitu pula beberapa guru yang
diambil riwayatnya oleh Sulaiman bin Mihran , beberapa dari mereka
adalah:
1)
Ibrahim
al-Taymiy
2)
Isma’il
bin Abi Khalid
3)
Anas
bin Malik
4)
Sa’id
bin Jabir
5)
Sa’id
bin Abdullah bin Jurayj
Nama aslinya adalah Ibrahim bin
Yazid Bin Syarik al-Taimiy, lahir pada tahun 152
H yang termasuk dari kalangan tabi’in. wafat pada tahun 192 H. Ibrahim
al-Taymiy adalah ulama’ hadis yang dapat
dikategorikan thiqqah, seperti yang diungkapkan oleh al-Dzahabi bahwa
Ibrahim al-Taymiy itu ra’sun fi al-‘Ilmi.
Ibrahim al-Taymiy banyak
meriwayatkan hadis dari gurunya, dan salah satu dari gurunya adalah ayahnya
sendiri yaitu Yazid Bin Syarik[7].
Seperti pada hadis di atas juga
diperoleh Ibrahim al-Taymiy dari ayahnya sendiri. Selain ayahnya Ibrahim
al-Taymiy juga meriwayatkan dari Anas bin Malik, Sayyidah A’isyah.
4.
Abu
Dzar al-Ghifari
Abu Dzar al-Ghifari merupakan salah
satu sahabat Rasulullah, nama aslinya adalah Jundub bin Junadah. Ada yang
mengatakan bahwa nama aslinya adalah Jundub bin Sukani. Dia juga masuk dalam
jajaran sahabat al-Sābiqūna al-Awwalūn[8],
karena dia telah masuk islam sebelum hijrah ke Madinah.[9]
Lebih tepatnya dia adalah orang kelima yang masuk islam dari kalangan orang
dewasa. Dia juga salah satu sahabat yang menyaksikan pembukaan Baitul Maqdis
bersama Sayyidina ‘Umar bin Khattab ,Dia wafat pada tahun 32 H.
Abu Dzar al-Ghifari banyak
meriwayatkan hadis gurunya yang tidak lain adalah Rasulullah, tetapi dia juga
berguru kepada Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Melihat status Abu Dzar al-Ghifari
yang merupakan salah satu al-Sābiqūna al-Awwalūn, jadi, tidak dapat
dibantah jika banyak hadis yang diterimanya dari Rasulullah, sehingga banyak
juga hadis yang diriwayatkan olehnya kepada murid-murid, bahkan dari sesame
sahabat sendiri.
D.
Analisis Hadis
Hadis ini berisi tentang penjelasan
mengenai pergerakan matahari. Dalam Ṣaḥīḥ Bukharī banyak hadis yang
isinya serupa dengan hadis ini, yaitu terdapat pada hadis no. 3199,7424 dan
no. 7433, yang terdapat tambahan tentang sujudnya matahari.
Mengenai sanad hadis, dalam hadis tersebut menggunakan Ṣighat Taḥammul
dua lafadz حدّثنا dan dua lafadz عن, sehingga dapat
dikatakan bahwa hadis ini berstatus shahih jika semua perawi dinyatakan pernah
bertemu. Jika dilihat dari nama-nama perawi ternyata dapat dipastikan sudah
saling bertemu. Seperti Abu Nu’aim yang masa hidupnya masih mengetahui dan menjadi
murid dari Sulaiman bin Mihran al-A’masy. Begitu juga dengan Sulaiman bin
Mihran al-A’masy dengan Ibrahim al-Taimiy. Mengenai status hadis, Imam Tirmidzi
menyatakan bahwa hadis ini berstatus hasan shahih[10].
Sedangkan untuk matannya terjadi
banyak pendapat yang masih simpang siur mengenai bagaimana bentuk penggambaran
sujudnya sebuah matahari. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha yang masih terdapat keruwetan.[11].
Tetapi beberapa ulama juga membenarkan mengenai sujudnya matahari di bawah Arsy
berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ
وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ
وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ.....الأية[12]
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Alloh bersujud
apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung,
pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar daripada
manusia…”.
Ayat di atas menjelaskan
bahwa seluruh makhluk Allah meskipun bukan manusia, juga melakukan sujud kepada
Allah. Begitu pula dengan Syaikh Abdur Rahman al-Mu`allimi yang
membenarkan pernyataan tersbut berkata, “Bagaimanapun sifat sujudnya matahari,
yang penting hal itu menunjukkan kepada kita akan kepasrahan dan ketundukannya
yang sempurna terhadap perintah Tuhannya selama-lamanya. Barangkali saja
tenggelamnya matahari ke arah bawah seperti dalam pandangan mata kita itu yang
dimaksud dengan sujudnya matahari.”.[13]
E.
Fiqhu al-Ḥadīth
Hadits ini menyimpan beberapa faedah
yang cukup banyak, di antaranya:
1) Bagusnya cara pengajaran
Nabi, yaitu dengan melontarkan sebuah pertanyaan
kepada para sahabatnya. Cara seperti ini seringkali beliau praktekkan dalam
banyak hadis. Tidak diragukan lagi bahwa sistem pengajaran seperti ini sangat
bermanfaat sekali dalam pematangan ilmu dan ketetapannya dalam akal pikiran,
sebab seorang yang ditanya akan merasa penasaran untuk mengetahui jawabannya,
sehingga ketika jawaban datang kepadanya sedang dia dalam kondisi penasaran dan
haus mencari jawaban, tak ragu lagi bahwa hal itu akan lebih terekam dalam
hatinya.
Faedah
ini hendaklah diperhatikan oleh kita semua, khususnya para ustadz dan para da`i
dalam mentransfer ilmu kepada orang lain. Janganlah dia menyampaikan secara
hamparan begitu saja, karena hal ini akan lebih mudah hilang dari ingatan,
tetapi hendaknya seorang guru untuk berusaha menggunakan cara-cara agar ilmu
yang dia sampaikan bisa menetap dalam hati, baik dengan soal-jawab, murāja`ah,
diskusi, dan lain sebagainya.
2) Terbitnya matahari dari
barat adalah salah satu tanda besar dekatnya hari kiamat. Hadits
ini merupakan di antara salah satu hadits yang banyak sekali, bahkan berderajat
mutawatir, bahwa terbitnya matahari dari barat adalah salah satu
tanda dekatnya kiamat. Maka hal ini wajib diimani oleh setiap muslim yang
mengaku Allah sebagai Tuhannya, Nabi Muhammad adalah nabinya, dan Islam adalah
agamanya.
3) Sunnah (Hadis)
merupakan penjelas Al-Qur’an.
Hadits ini bisa dijadikan contoh yang bagus tentang kedudukan Sunnah/hadis
sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ
الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ[14]
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya, demikianlah ketetapan
yang maha kuasa lagi maha mengetahui.”
4) Matahari merupakan
tanda kekuasaan Alloh
Seperti firman Allah :
وَمِنْ
آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا
لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ[15]
“Dan
sebagian tanda-tanda kekuasan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan, dan
mereka semua bersujud kepada Allah yang menciptakan mereka. Supaya kalian
beribadah kepada- Nya”
Perhatikanlah bagaimana dia berjalan secara teratur tanpa maju ataupun
mundur sedikit pun sejak awal penciptaannya hingga kelak jika Allah hendak
menghancurkan dunia. Demikian pula bentuknya yang begitu besar dan manfaatnya
yang begitu banyak bagi kehidupan makhluk di bumi, baik bagi tubuh, pohon,
sungai, lautan, dan lain sebagainya. Belum lagi sinarnya yang menyinari dunia
sehingga manusia tidak membutuhkan listrik.
F. Kesimpulan
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar tersebut diatas merupakan hadis
shahih yang menerangkan tentang pergerakan matahari. Meskipun banyak dari
beberpa ulama’ yang masih berselisih pendapat mengenai sujudnya matahari.
Tetapi oleh Syaikh
Abdur Rahman al-Mu`allimi, pendapat mengenai sujudnya matahari adalah benar
adanya menilik dari al-Qur’an Surat al-Hajj ayat 18, dengan bentuk sujud yang
berbeda-beda. Dan Syaikh Abdur Rahman al-Mu`allimi merefleksikan tenggelamnya
matahari ke arah bawah seperti dalam pandangan mata kita, itulah yang dimaksud dengan sujudnya matahari.
Kembali
menilik dari hadis tersebut dapat diambil beberapa pelajaran, yaitu salah satu
metode Rasulullah dalam menyampaikan ilmunya dengan cara melontarkan
pertanyaan. Karena dengan cara melontarkan pertanyaan dapat menimbulkan rasa
penasaran bagi yang ditanyai sehingga jawaban dari pertanyaan dapat diingat
dengan mudah. Pelajaran lain yang dapat diambil adalah mengenai pernyataan
bahwa hadis adalah salah satu alat penjelas al-Qur’an adalah benar adanya.
Karena hadis diatas dapat digunakan untuk menafsirkan surat Yasin ayat 38.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
‘Ali Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsīr al-Manār Mesir: al-Hay’ah
al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitāb 1990.
Bukhari (al), Muhammad bin Isma’il, Jāmi´
al-Ṣaḥīḥ, ttp: Dār al-Ṭūq al-Najjah, 1422 H.
Dzahabi (al), Muhammad bin Ahmad, Sayru
al-A´lām al-Nubalā’i, ttp: Mu’assasah al-Risālah, 1985.
Hasan, Abu al-Qāsim Ali, Tārīkh Damashqi, Beirut:
Dār al-Fikr 1995.
Katsir, Isma’il bin Umar, Tafsīr al-Qur’ān al-´Adhīm ttp: Dār
al-Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tawzī´ 1999.
Khalil, Mahmud Muhammad, Mawsū´ah Aqwāl
al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal fi Rijāl al-Ḥadīth ttp: ´Ālim al-Kutub, 1997.
Mu’allimi (al), Abdurrahman bin Yahya, al-Anwār
al-Kāshifah .Beirut: ‘Ālim al-Kutub, 1986.
Taymiy (al), Muhammad bin Ḥabban, Mashāhīru
al-´Ulamā’ Mesir: Dār al-Wafā’, 1991.
Yusuf, Yusuf bin Aburrahman, Tahdhīb al-Kamāl, Beirut: Mu’assasah
al-Risālah, 1980.
[1]
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Jāmi´ al-Ṣaḥīḥ, (ttp: Dār al-Ṭūq
al-Najjah, 1422 H.) Juz 6 hal 123 No. Hadits: 4802
[2] Yusuf
bin Aburrahman bin Yusuf, Tahdhīb al-Kamāl, ( Beirut: Mu’assasah
al-Risālah, 1980) juz 34 hal 352.
[3]
Mahmud Muhammad Khalil, Mawsū´ah Aqwāl al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal fi Rijāl al-Ḥadīth
(ttp: ´Ālim al-Kutub, 1997) juz 3 hal 151.
[4] Muhammad
bin Ahmad al-Dzahabi, Sayru al-A´lām al-Nubalā’i, (ttp: Mu’assasah
al-Risālah, 1985) juz 6 hal 226.
[5]
Muhammad bin Ḥabban al-Taymiy, Mashāhīru al-´Ulamā’ ( Mesir: Dār
al-Wafā’, 1991) juz 1 hal 179.
[6] Muhammad
bin Ahmad al-Dzahabi, Sayru al-A´lām al-Nubalā’i, (ttp: Mu’assasah
al-Risālah, 1985) juz 5 hal 60.
[7]
Yusuf bin Aburrahman bin Yusuf, Tahdhīb al-Kamāl, ( Beirut: Mu’assasah
al-Risālah, 1980) juz 32 hal 160-161.
[8]
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Sayru al-A´lām al-Nubalā’i, (ttp: Mu’assasah
al-Risālah, 1985) juz 2 hal 46.
[9]
Abu al-Qāsim Ali bin Hasan, Tārīkh Damashqi, (Beirut: Dār al-Fikr 1995)
juz 66 hal 174.
[10]
Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-´Adhīm (ttp: Dār al-Ṭayyibah
li al-Nashr wa al-Tawzī´ 1999) juz 6 hal 574.
[11]
Muhammad Rasyid bin ‘Ali Ridha, Tafsīr al-Manār (Mesir: al-Hay’ah
al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitāb 1990) juz 8 hal 211.
[12]
Q.S. al-Hajj 22:18
[13]
Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi, al-Anwār al-Kāshifah (Beirut: ‘Ālim
al-Kutub, 1986) hal 294
[14]
Q.S. Yasin 36:38
[15]
Q.S. Fushshilat 41:37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar