Minggu, 05 Juni 2016

Bahtsu al- Kitab al- Muwaththa'


Kitab Muwaththa'
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah Al- Qur’an, tetapi selain itu ada pula al- hadits yang juga merupakan sumber hukum Islam kedua. Sehingga dianjurkan pula bagi umat muslim untuk mempelajari sumber hukum kedua ini.
Karena, meskipun al- Qur’an telah berisi seluruh ilmu pengetahuan yang ada di bumi, tetapi keterbatasan manusia lah yang menjadikan mereka tidak mampu untuk menafsirkan keseluruhan isi al- Qur’an. Sehingga dibutuhkanlah sesuatu yang dapat membantu penafsiran al- Qur’an, yaitu al- Hadits yang juga merupakan sumber hukum islam kedua setelah al- Qur’an itu sendiri.
Salah satu kitab hadits yang terkenal dari masanya hingga masa sekarang adalah al- Muwaththa, yang ditulis oleh Imam Malik, yang merupakan kitab hadits pertama dalam sejarah keilmuan islam yang sampai pada pandangan mata kita sekarang. Sehingga penting untuk kita mencoba sedikit membahasnya.
Kemudian yang menjadi titik berat dalam makalah ini, dan yang akan dikerucutkan pembahanya adalah mengenai kitab al- Muwaththa dai sisi biografi penulis, sejarah penulisan kitab dan dari sisi kelebihan serta kekurangannya.
PEMBAHASAN
A.    Biografi Imam Malik
Imam malik salah satu ulama’ hadits tersohor dari Kota Madinah yang bernama lengkap Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi al-Madani.[1] Kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya al-Asbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam Dar al-Hijrah.
Dia lahir di Kota Madinah pada tahun 95 H, dan wafat pada tahun 179 H pada usia 84 tahun di tanah kelahirannya, yaitu Kota Madinah. Dia merupakan imam Hijaz bahkan imamnya manusia dalam  bidang fiqih dan hadits.
Imam ibn Atsir mengatakan dalam kitabnya jāmi’ul ushul li ibn Atsir: “Beliau adalah seorang guru besar yang lahir pada tahun 95 H dan wafat pada tahun 179 H, pada usia 84 tahun.”. Sedangkan Imam al wāqidi berpendapat bahwa Imam Malik wafat pada usia 90 tahun.[2]
Ayahnya yang bernama Malik bin Anas merupakan salah satu perawi hadits, dan ibunya merupakan salah satu dari wanita-wanita sholihah, yang juga menyuruh Imam Malik untuk mencari ilmu ketika dia telah masuk usia pembelajaran. Ibunya berkata kepada Imam Malik, “pergilah, lalu tulis hadits Rasulallah SAW.”.[3]
Kakeknya yang bernama Malik merupakan salah satu pembesar tabi’in yang mengambil ilmu dari sahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aisyah, dan Abi Hurairah, yang juga merupakan salah satu penulis mushaf pada masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Beliau juga merupakan orang yang pertama kali bepergian dari Yaman ke Hijaz.[4]
Imam Malik telah diketahui sejak kecil sudah suka mencari ilmu dan memiliki ketertarikan yang tinggi untuk mengumpulkan ilmu tersebut, Dia mendatangi gurunya yaitu Abu Bakar Abdullah bin Yazid yang dikenal dengan Ibnu Hurmuz di waktu pagi dan tidak meninggalkan rumahnya hingga larut malam. Dia berguru kepadanya selama kurang lebih 7 tahun.
B.     Sejarah dan Biografi Muwaththa
Al Muwaththa' merupakan kitab panduan yang membahas tentang ilmu dan fiqih (hukum-hukum) Islam yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah shahih karana Imam Malik bin Anas terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits.
Dia sangat berhati-hati ketika meneliti, memilah, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpulkan dan meneliti hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Sejumlah Ulama berpendapat bahwa sumber-sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub As Sittah ditambah Al Muwaththa.
Mengenai sejarah penulisan kitab Al Muwaththa, banyak terjadi perbedaan pendapat. Salah satunya adalah pendapat dari Noel J. Coulson, latar belakang penyusunan al-Muwatha’ adalah adanya problem politik dan keagamaan. Kondisi politik yang penuh konflik pada masa pemerintahan Daulah Umayyah dan Abbasiyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij. Syi’ah dan keluarga istana) yang mengancam integritas kaum muslim dan berkembangnya nuansa perbedaan kondisi social keagamaan—khususnya di bidang hukum—yang berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi dan rasio di sisi yang lain, telah melahirkan pluralitas yang penuh konflik.[5]
Selain pernyataan yang di kemukakan oleh Noel J. Coulson di atas, ada versi lain yang mengatakan bahwa latar belakang penyusunan al- Muwatha’ adalah adanya usulan Muhammad bin Muqaffa’ kepada Khalifah Ja’far al-Mansur untuk membuat semacam peraturan atau undang-undang yang menjadi penengah dan dapat di terima oleh semua kalangan karena Muhammad bin Muqaffa’ sangat prihatin terhadap adanya perbedaan fatwa dan pertentangan yang berkembang pada saat itu. Khalifah Ja’far al-Mansur kemudian meminta Imam Malik untuk menyusun Kitab hukum sebagai Kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima permintaan tersebut, namun ia keberatan menjadikan kitabnya sebagai kitab standar atau kitab resmi Negara.
Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa, di samping terinisiatif oleh usulan Khalifah Ja’jafar al-Mansur, sebenarnya Imam Malik mempunyai keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam dalam memahami agama.[6]
Berbicara mengenai penamaan kitab Muwaththa, Imam Suyuthi melalui riwayat dari Imam Malik sendiri, mengatakan “telah aku perlihatkan kitabku ini pada 70 ulama’ ahli fiqih Madinah dan masing-masing dari mereka menyetujuinya, maka aku namakan kitab ini dengan nama Al Muwaththa.”.[7]
Kitab al-Muwatha’ menghimpun hadits-hadits Nabi, baik yang bersambung sanadnya maupun yang tidak bersambuang sanadnya, Qaul sahabat, qaul tabi’in, ijma’ ahlul-Madinah dan pendapat Imam Malik sendiri. Salah satu contoh hadits yang tidak bersambung sanadnya adalah hadits yang berbunyi;

عن عطاء بن يسار أنه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فسأله عن وقت صلاة الصبح. قال : فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى إذا كان من الغد صلى الصبح حين طلع الفجر ثم صلى الصبح من الغد حين أسفر ثم قال "أين السائل عن وقت الصلاة؟" ها أناذا يارسول الله, فقال "ما بين هذين وقت"[8]

Sedangkan contoh hadits yang termasuk Qaul sahabat adalah;
و حدثني عن مالك عن زيد بن اسلم أن عمر بن الخطاب قال : إذا نام أحدكم مضطجعا فليتوضأ.[9]

Sementara contoh hadits yang termasuk Qaul tabi’in adalah;
وحدثني عن مالك أنه بلغه أن عاملا لعمر بن عبد العزيز كتب إليه يذكر أن رجلا منع زكاة ماله, فكتب إليه أن دعه ولا تأخذ منه زكاة مع المسلمين, قال فبلغ ذلك الرجل فاشتد عليه وأدى بعد ذالك زكاة ماله, فكتب عامل عمر إليه يذكر له ذلك فكتب إليه عمر أن خذها منه.[10]

C.     Metode Penulisan Muwaththa
Secara khusus, tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang di pakai Imam Malik dalam menghimpun kitab al- Muwaththa. Namun sacara umum dengan melihat penjelasan dan cara pembukuan yang di lakukan oleh Imam Malik dalam kitabnya, metode yang di pakai adalah metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam (fiqih) dengan mencantumkan hadits-hadits yang bersumber langsung dari Nabi SAW, yang disebut dengan Marfu’ dan yang besumber dari sahabat Nabi SAW, yang di sebut dengan Mauqūf ataupun yang berasal dari tabi’in, yang disebut Maqthū’.
Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan, yang berupa:
a)      penyeleksian terhadap hadits-hadits yang di sandarkan kepada Nabi SAW.
b)      atsar atau fatwa sahabat.
c)      fatwa tabi’in.
d)     ijma’ ahli Madinah dan
e)      pendapat Imam Malik sendiri[11].
Meskipun sebenarnya kelima tahapan tersebut tidak selalu muncul besamaan dan digunakan dalam setiap pembahasan dan urutan pembahasannya, Ia  mendahulukan penulusuran dari hadits Nabi SAW. yang telah diseleksi sebagai acuan pertama yang dipakai Imam Malik, sedangkan tahapan kedua dan seterusnya dijelaskan Imam Malik tatkala Ia merasa perlu untuk dijelaskan.

Dalam penyeleksian suatu hadits, ada empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan hadits, keempat kriteria tersebut adalah:
a)      periwayat bukan orang yang berperilaku jelek.
b)      periwayat bukan ahli bid’ah.
c)      periwayat bukan orang yang suka berdusta dalam hadits.
d)     periwayat bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya[12].
Imam Malik dalam mengklasifiksi hadist-hadits yang terdapat dalam al- Muwaththa berdasarkan pada sistematika yang dipakai dalam kitab Fiqih, yaitu dengan klasifikasi hadits sesuai dengan hukum Fiqih. Menurut Fuad al-Baqi, kitab ini, terdiri dari dua juz, 61 bab, dan 1824 hadits. Kitab al- Muwaththa, mayoritas berisi tentang fiqih, ada pula tentang tauhid, akhlaq, dan al-Quran dengan perincian sebagai berikut:
1)      Fiqih, di bagi lagi kedalam beberapa bagian; yaitu fiqih ibadah, muamalah, munākahat, mawārits dan fiqih perbudakan.
2)      Tauhid.
3)      Akhlaq.
4)      Al- Qur’an
5)      Sirah dan Sifat-sifat Nabi.
D.    Keistimewaan dan Kekurangan Kitab Muwaththa
Kitab Muwaththa, yang ditulis oleh Imam Malik merupakan kitab hadits tertulis pertama yang dibukukan, dan semua buatan makhluk disamping memiliki keistimewaan sendiri, pasti juga memiliki kekurangan.
Jadi, hal yang seperti itu juga berlaku pada kitab Muwaththa, adapun keistimewaan dari kitab muwaththa adalah:
1)      Banyak ulama’ yang mengakui bahwa Muwaththa adalah kitab hadits pertama yang berisi hadits shahih.
2)      Kitab hadits yang juga dapat dikatakan kitab fiqih karena bersistematika fiqh.
3)      Metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadis berdasar klasifikasi hukum islam dengan mencantumkan hadis yang berasal dari Nabi,  berasal dari sahabat dan berasal dari tabiin, ijm’ ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik.
4)      Seluruh hadis yang diriwayatkan Imam Malik adalah shahih.
5)      Sebagian ulama' berpendapat bahwa al- Muwaththa lebih sahih dari Sunan ibn Majjah atau bahkan menempati peringkat pertama dalam hal kesahihan setelah Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.
6)      Kemunculan al-muwatta’ merupakan sebuah kemajuan dalam bidang hadis.

Adapun kekurangan dari Kitab al-Muwaththa adalah:
1)      Dalam menuliskan kitabnya, Imam Malik sering menuliskan peristiwa yang terjadi saat kitab itu ditulis.
2)      Hadits dalam kitab ini, tidak semuanya shahih, namun terdapat pula hadis dhaif didalamnya.
3)      Hadits-hadits yang terdapat di dalamnya banyak yang tidak bersambung sanadnya bahkan ada yang terputus,

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah Al- Qur’an, tetapi selain itu ada pula al- hadits yang juga merupakan sumber hukum Islam kedua. Salah satu kitab hadits yang terkenal dari masanya hingga masa sekarang adalah al- Muwaththa, yang ditulis oleh Imam Malik, yang merupakan kitab hadits pertama dalam sejarah keilmuan islam yang sampai pada pandangan mata kita sekarang.
Imam malik salah satu ulama’ hadits tersohor dari Kota Madinah yang bernama lengkap Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi al-Madani.[13] Kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya al-Asbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam Dar al-Hijrah.
Dia lahir di Kota Madinah pada tahun 95 H, dan wafat pada tahun 179 H pada usia 84 tahun di tanah kelahirannya, yaitu Kota Madinah. Dia merupakan imam Hijaz bahkan imamnya manusia dalam  bidang fiqih dan hadits.
Al Muwaththa' merupakan kitab panduan yang membahas tentang ilmu dan fiqih (hukum-hukum) Islam yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin.
Penulisan kitab al- Muwaththa dilatar belakangi oleh usulan Khalifah Ja’jafar al-Mansur, sebenarnya Imam Malik mempunyai keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam dalam memahami agama, meskipun banyak versi lain yang mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai latar belakang penulisannya.
Kemudian mengenai penamaan kitab Muwaththa, Imam Suyuthi melalui riwayat dari Imam Malik sendiri, mengatakan “telah aku perlihatkan kitabku ini pada 70 ulama’ ahli fiqih Madinah dan masing-masing dari mereka menyetujuinya, maka aku namakan kitab ini dengan nama Al Muwaththa.”. Kitab al- Muwaththa ditulis dengan sistematika fiqih.


Daftar Pustaka
Al- Madani, Malik bin Anas, al- Muwaththa,tkp, Majmū’atu al- furqān al- tijāriyah, 2003.
al Maliki al Hasani, Muhammad bin ‘Alwi, al Manhal al Lathīf, Surabaya, As Shofwah, tth.
Kumpulan Jurnal Study Kitab Hadits, Penulis Dosen Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, Yogyakata; TERAS press, 2003.
Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Persfektif Sejarah, terjemah Hamid Ahmad, Jakarta, P3M, 1987.


[1] Muhammad bin ‘Alwi al Maliki al Hasani, al Manhal al Lathīf, (Surabaya, As Shofwah, tth) hal. 251
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid. 252
[5] Noel J. coulson, Hukum Islam dalam Persfektif Sejarah, terjemah Hamid Ahmad, (Jakarta, P3M, 1987) hal. 59.
[6] Kumpulan Jurnal Study Kitab Hadits, Penulis Dosen Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, (Yogyakata; TERAS press, 2003) hal 7.
[7] Muhammad bin ‘Alwi al Maliki al Hasani, al Manhal al Lathīf, (Surabaya, As Shofwah, tth) hal. 253
[8] Hadits Nomor 11  kitab al-Muwaththa.
[9] Hadits Nomor 43  kitab al-Muwaththa.
[10] Hadits Nomor 673  kitab al-Muwaththa.
[11] Kumpulan Jurnal Study Kitab Hadits, Penulis Dosen Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, (Yogyakata; TERAS press, 2003) hal 13-14.
[12] Ibid.
[13] Muhammad bin ‘Alwi al Maliki al Hasani, al Manhal al Lathīf, (Surabaya, As Shofwah, tth) hal. 251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar