Kitab Muwaththa'
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah Al- Qur’an, tetapi selain itu
ada pula al- hadits yang juga merupakan sumber hukum Islam kedua. Sehingga
dianjurkan pula bagi umat muslim untuk mempelajari sumber hukum kedua ini.
Karena, meskipun al- Qur’an telah
berisi seluruh ilmu pengetahuan yang ada di bumi, tetapi keterbatasan manusia
lah yang menjadikan mereka tidak mampu untuk menafsirkan keseluruhan isi al-
Qur’an. Sehingga dibutuhkanlah sesuatu yang dapat membantu penafsiran al-
Qur’an, yaitu al- Hadits yang juga merupakan sumber hukum islam kedua setelah
al- Qur’an itu sendiri.
Salah satu kitab hadits yang
terkenal dari masanya hingga masa sekarang adalah al- Muwaththa, yang ditulis
oleh Imam Malik, yang merupakan kitab hadits pertama dalam sejarah keilmuan
islam yang sampai pada pandangan mata kita sekarang. Sehingga penting untuk kita
mencoba sedikit membahasnya.
Kemudian yang menjadi titik berat
dalam makalah ini, dan yang akan dikerucutkan pembahanya adalah mengenai kitab
al- Muwaththa dai sisi biografi penulis, sejarah penulisan kitab dan dari sisi
kelebihan serta kekurangannya.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Imam Malik
Imam malik salah satu ulama’ hadits
tersohor dari Kota Madinah yang bernama lengkap Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi
al-Madani.[1]
Kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya al-Asbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam
Dar al-Hijrah.
Dia
lahir di Kota Madinah pada tahun 95 H, dan wafat pada tahun 179 H pada usia 84
tahun di tanah kelahirannya, yaitu Kota Madinah. Dia merupakan imam Hijaz
bahkan imamnya manusia dalam bidang
fiqih dan hadits.
Imam
ibn Atsir mengatakan dalam kitabnya jāmi’ul ushul li ibn Atsir: “Beliau
adalah seorang guru besar yang lahir pada tahun 95 H dan wafat pada tahun 179
H, pada usia 84 tahun.”. Sedangkan Imam al wāqidi berpendapat bahwa Imam Malik
wafat pada usia 90 tahun.[2]
Ayahnya
yang bernama Malik bin Anas merupakan salah satu perawi hadits, dan ibunya
merupakan salah satu dari wanita-wanita sholihah, yang juga menyuruh Imam Malik
untuk mencari ilmu ketika dia telah masuk usia pembelajaran. Ibunya berkata
kepada Imam Malik, “pergilah, lalu tulis hadits Rasulallah SAW.”.[3]
Kakeknya
yang bernama Malik merupakan salah satu pembesar tabi’in yang mengambil ilmu
dari sahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aisyah, dan Abi Hurairah, yang juga merupakan
salah satu penulis mushaf pada masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Beliau juga
merupakan orang yang pertama kali bepergian dari Yaman ke Hijaz.[4]
Imam
Malik telah diketahui sejak kecil sudah suka mencari ilmu dan memiliki
ketertarikan yang tinggi untuk mengumpulkan ilmu tersebut, Dia mendatangi
gurunya yaitu Abu Bakar Abdullah bin Yazid yang dikenal dengan Ibnu Hurmuz di
waktu pagi dan tidak meninggalkan rumahnya hingga larut malam. Dia berguru
kepadanya selama kurang lebih 7 tahun.
B. Sejarah dan Biografi Muwaththa
Al
Muwaththa' merupakan kitab panduan yang membahas tentang ilmu dan fiqih
(hukum-hukum) Islam yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam
Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap
dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan
sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah shahih karana Imam Malik bin Anas
terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits.
Dia
sangat berhati-hati ketika meneliti, memilah, dan membahas serta menolak
riwayat yang meragukan. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40
tahun untuk mengumpulkan dan meneliti hadits-hadits yang diterima dari
guru-gurunya. Sejumlah Ulama berpendapat bahwa sumber-sumber hadits itu ada
tujuh, yaitu Al Kutub As Sittah ditambah Al Muwaththa.
Mengenai
sejarah penulisan kitab Al Muwaththa, banyak terjadi perbedaan pendapat. Salah
satunya adalah pendapat dari Noel J. Coulson, latar belakang penyusunan al-Muwatha’
adalah adanya problem politik dan keagamaan. Kondisi politik yang penuh konflik
pada masa pemerintahan Daulah Umayyah dan Abbasiyah yang melahirkan tiga
kelompok besar (Khawarij. Syi’ah dan keluarga istana) yang mengancam integritas
kaum muslim dan berkembangnya nuansa perbedaan kondisi social keagamaan—khususnya
di bidang hukum—yang berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi dan
rasio di sisi yang lain, telah melahirkan pluralitas yang penuh konflik.[5]
Selain
pernyataan yang di kemukakan oleh Noel J. Coulson di atas, ada versi lain yang
mengatakan bahwa latar belakang penyusunan al- Muwatha’ adalah adanya usulan
Muhammad bin Muqaffa’ kepada Khalifah Ja’far al-Mansur untuk membuat semacam
peraturan atau undang-undang yang menjadi penengah dan dapat di terima oleh
semua kalangan karena Muhammad bin Muqaffa’ sangat prihatin terhadap adanya
perbedaan fatwa dan pertentangan yang berkembang pada saat itu. Khalifah Ja’far
al-Mansur kemudian meminta Imam Malik untuk menyusun Kitab hukum sebagai Kitab
standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima permintaan tersebut,
namun ia keberatan menjadikan kitabnya sebagai kitab standar atau kitab resmi
Negara.
Ada
juga versi lain yang mengatakan bahwa, di samping terinisiatif oleh usulan
Khalifah Ja’jafar al-Mansur, sebenarnya Imam Malik mempunyai keinginan kuat
untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam dalam memahami agama.[6]
Berbicara
mengenai penamaan kitab Muwaththa, Imam Suyuthi melalui riwayat dari Imam Malik
sendiri, mengatakan “telah aku perlihatkan kitabku ini pada 70 ulama’ ahli
fiqih Madinah dan masing-masing dari mereka menyetujuinya, maka aku namakan
kitab ini dengan nama Al Muwaththa.”.[7]
Kitab al-Muwatha’ menghimpun hadits-hadits
Nabi, baik yang bersambung sanadnya maupun yang tidak bersambuang sanadnya,
Qaul sahabat, qaul tabi’in, ijma’ ahlul-Madinah dan pendapat Imam Malik
sendiri. Salah satu contoh hadits yang tidak bersambung sanadnya adalah hadits
yang berbunyi;
عن عطاء بن يسار أنه
قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فسأله عن وقت صلاة الصبح. قال :
فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى إذا كان من الغد صلى الصبح حين طلع الفجر
ثم صلى الصبح من الغد حين أسفر ثم قال "أين السائل عن وقت الصلاة؟" ها
أناذا يارسول الله, فقال "ما بين هذين وقت"[8]
Sedangkan
contoh hadits yang termasuk Qaul sahabat adalah;
و حدثني عن مالك عن زيد
بن اسلم أن عمر بن الخطاب قال : إذا نام أحدكم مضطجعا فليتوضأ.[9]
Sementara
contoh hadits yang termasuk Qaul tabi’in adalah;
وحدثني عن مالك أنه
بلغه أن عاملا لعمر بن عبد العزيز كتب إليه يذكر أن رجلا منع زكاة ماله, فكتب إليه
أن دعه ولا تأخذ منه زكاة مع المسلمين, قال فبلغ ذلك الرجل فاشتد عليه وأدى بعد
ذالك زكاة ماله, فكتب عامل عمر إليه يذكر له ذلك فكتب إليه عمر أن خذها منه.[10]
C. Metode Penulisan Muwaththa
Secara khusus, tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode
yang di pakai Imam Malik dalam menghimpun kitab al- Muwaththa. Namun sacara
umum dengan melihat penjelasan dan cara pembukuan yang di lakukan oleh Imam
Malik dalam kitabnya, metode yang di pakai adalah metode pembukuan hadits
berdasarkan klasifikasi hukum Islam (fiqih) dengan mencantumkan hadits-hadits
yang bersumber langsung dari Nabi SAW, yang disebut dengan Marfu’ dan
yang besumber dari sahabat Nabi SAW, yang di sebut dengan Mauqūf ataupun
yang berasal dari tabi’in, yang disebut Maqthū’.
Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan, yang berupa:
a) penyeleksian
terhadap hadits-hadits yang di sandarkan kepada Nabi SAW.
b) atsar atau fatwa sahabat.
c) fatwa
tabi’in.
d) ijma’
ahli Madinah dan
e) pendapat
Imam Malik sendiri[11].
Meskipun sebenarnya kelima
tahapan tersebut tidak selalu muncul besamaan dan digunakan dalam setiap
pembahasan dan urutan pembahasannya, Ia mendahulukan penulusuran dari
hadits Nabi SAW. yang telah diseleksi sebagai acuan pertama yang dipakai Imam
Malik, sedangkan tahapan kedua dan seterusnya dijelaskan Imam Malik tatkala Ia
merasa perlu untuk dijelaskan.
Dalam penyeleksian suatu hadits,
ada empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan
hadits, keempat kriteria tersebut adalah:
a)
periwayat bukan orang yang
berperilaku jelek.
b)
periwayat bukan ahli bid’ah.
c)
periwayat bukan orang yang suka
berdusta dalam hadits.
d)
periwayat bukan orang yang tahu ilmu,
tetapi tidak mengamalkannya[12].
Imam Malik dalam
mengklasifiksi hadist-hadits yang terdapat dalam al-
Muwaththa berdasarkan pada sistematika yang
dipakai dalam kitab Fiqih, yaitu dengan klasifikasi hadits sesuai dengan hukum
Fiqih. Menurut Fuad al-Baqi, kitab ini, terdiri dari dua juz, 61 bab, dan 1824
hadits. Kitab al- Muwaththa, mayoritas
berisi tentang fiqih, ada pula tentang tauhid, akhlaq, dan al-Quran dengan
perincian sebagai berikut:
1)
Fiqih, di bagi lagi kedalam
beberapa bagian; yaitu fiqih ibadah, muamalah, munākahat, mawārits
dan fiqih perbudakan.
2)
Tauhid.
3)
Akhlaq.
4)
Al- Qur’an
5)
Sirah dan Sifat-sifat Nabi.
D. Keistimewaan
dan Kekurangan Kitab Muwaththa
Kitab Muwaththa, yang ditulis
oleh Imam Malik merupakan kitab hadits tertulis pertama yang dibukukan, dan
semua buatan makhluk disamping memiliki keistimewaan sendiri, pasti juga
memiliki kekurangan.
Jadi, hal yang seperti itu juga
berlaku pada kitab Muwaththa, adapun keistimewaan dari kitab muwaththa adalah:
1)
Banyak ulama’ yang mengakui bahwa
Muwaththa adalah kitab hadits pertama yang berisi hadits shahih.
2)
Kitab
hadits yang juga dapat dikatakan kitab fiqih karena bersistematika fiqh.
3)
Metode
yang dipakai adalah metode pembukuan hadis berdasar klasifikasi hukum islam
dengan mencantumkan hadis yang berasal dari Nabi, berasal dari
sahabat dan berasal dari tabiin, ijm’ ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik.
4)
Seluruh
hadis yang diriwayatkan Imam Malik adalah shahih.
5)
Sebagian
ulama' berpendapat bahwa al- Muwaththa lebih sahih dari Sunan ibn Majjah atau
bahkan menempati peringkat pertama dalam hal kesahihan setelah Sahih al-Bukhari
dan Sahih Muslim.
6)
Kemunculan
al-muwatta’ merupakan sebuah kemajuan dalam bidang hadis.
Adapun
kekurangan dari Kitab al-Muwaththa adalah:
1)
Dalam
menuliskan kitabnya, Imam Malik sering menuliskan peristiwa yang terjadi saat
kitab itu ditulis.
2)
Hadits
dalam kitab ini, tidak semuanya shahih, namun terdapat pula hadis dhaif
didalamnya.
3)
Hadits-hadits yang terdapat di
dalamnya banyak yang tidak bersambung sanadnya bahkan ada yang terputus,
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber hukum
Islam yang pertama dan utama adalah Al- Qur’an, tetapi selain itu ada pula al-
hadits yang juga merupakan sumber hukum Islam kedua. Salah satu kitab hadits
yang terkenal dari masanya hingga masa sekarang adalah al- Muwaththa, yang
ditulis oleh Imam Malik, yang merupakan kitab hadits pertama dalam sejarah
keilmuan islam yang sampai pada pandangan mata kita sekarang.
Imam malik
salah satu ulama’ hadits tersohor dari Kota Madinah yang bernama lengkap Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik
ibn Abi Amir al-Asbahi al-Madani.[13]
Kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya al-Asbahi, al-Madani, al-Faqih,
al-Imam Dar al-Hijrah.
Dia lahir di Kota Madinah pada tahun 95 H, dan wafat pada
tahun 179 H pada usia 84 tahun di tanah kelahirannya, yaitu Kota Madinah. Dia
merupakan imam Hijaz bahkan imamnya manusia dalam bidang fiqih dan hadits.
Al Muwaththa' merupakan kitab panduan yang membahas tentang
ilmu dan fiqih (hukum-hukum) Islam yang berisikan hadits-hadits yang
dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin.
Penulisan kitab al- Muwaththa dilatar belakangi oleh usulan Khalifah Ja’jafar al-Mansur,
sebenarnya Imam Malik mempunyai keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat
memudahkan umat Islam dalam memahami agama, meskipun banyak versi lain yang
mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai latar belakang penulisannya.
Kemudian mengenai penamaan kitab Muwaththa, Imam Suyuthi
melalui riwayat dari Imam Malik sendiri, mengatakan “telah aku perlihatkan
kitabku ini pada 70 ulama’ ahli fiqih Madinah dan masing-masing dari mereka
menyetujuinya, maka aku namakan kitab ini dengan nama Al Muwaththa.”. Kitab al-
Muwaththa ditulis dengan sistematika fiqih.
Daftar Pustaka
Al- Madani, Malik bin Anas, al-
Muwaththa,tkp, Majmū’atu al- furqān al- tijāriyah, 2003.
al Maliki al Hasani, Muhammad bin ‘Alwi, al Manhal al Lathīf, Surabaya,
As Shofwah, tth.
Kumpulan Jurnal Study Kitab Hadits,
Penulis Dosen Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakata,
Yogyakata; TERAS press, 2003.
Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Persfektif
Sejarah, terjemah Hamid
Ahmad, Jakarta, P3M, 1987.
[1]
Muhammad bin ‘Alwi al Maliki al Hasani, al Manhal al Lathīf, (Surabaya,
As Shofwah, tth) hal. 251
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid. 252
[5] Noel J. coulson, Hukum Islam dalam Persfektif Sejarah, terjemah Hamid Ahmad, (Jakarta,
P3M, 1987) hal. 59.
[6] Kumpulan Jurnal Study Kitab Hadits,
Penulis Dosen Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, (Yogyakata;
TERAS press, 2003) hal 7.
[7]
Muhammad bin ‘Alwi al Maliki al Hasani, al Manhal al Lathīf, (Surabaya,
As Shofwah, tth) hal. 253
[8] Hadits Nomor 11 kitab al-Muwaththa.
[9] Hadits Nomor 43 kitab al-Muwaththa.
[10] Hadits Nomor 673 kitab al-Muwaththa.
[11] Kumpulan Jurnal Study Kitab Hadits, Penulis Dosen Tafsir Hadits
fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, (Yogyakata; TERAS press,
2003) hal 13-14.
[12]
Ibid.
[13]
Muhammad bin ‘Alwi al Maliki al Hasani, al Manhal al Lathīf, (Surabaya,
As Shofwah, tth) hal. 251
Tidak ada komentar:
Posting Komentar